KABAR OPINI

Sejarah Sajadah Panjang Muhammadiyah

653
×

Sejarah Sajadah Panjang Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini
Prof. Winai Dahlan (kanan), cucu Pendiri Muhammadiyah Kauman Yogyakarta, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan), dan Muhammad Gunawan Yasni (kiri), cucu pendiri Muhammadiyah Padang Panjang Sumbar, Darwis Abdul Muin. (Foto: Dok. Aat Surya S)
Prof. Winai Dahlan (kanan), cucu Pendiri Muhammadiyah Kauman Yogyakarta, Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan), dan Muhammad Gunawan Yasni (kiri), cucu pendiri Muhammadiyah Padang Panjang Sumbar, Darwis Abdul Muin. (Foto: Dok. Aat Surya S)

 Sama seperti pendahulunya, keengganan membawa embel-embel keakuan ataupun sekedar ke-Muhammadiyah-an di atas kepentingan yang lebih besar sepertinya menjadi ke-egois-an dalam berkorban sebagaimana para Nabi dan orang-orang shalih terdahulu.

 Kata-kata bijak yang ‘blunt’ dalam bahasa Inggris yang lebih merupakan bahasa pikiran seorang Gunawan Yasni, “I don’t give a damn about people but I give a damn about Allah – Saya tidak peduli manusia tapi saya peduli Allah” merupakan pengejawantahan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk Allah, bukan sekedar untuk manusia.

 Satire Syariah Untuk Semua

 Banyak trah perpolitikan, trah kekyaian dan trah-trah lainnya yang mengatasnamakan mendukung syariah agar mereka bisa langsung duduk di puncak-puncak kekuasaan, padahal mereka ketika berkuasa tidak banyak melakukan hal-hal signifikan agar syariah berkembang secara esensial dan substansial.

 Apa yang ada malah membuat syariah berbudget tinggi karena harus menyiapkan komunitas-komunitas, komite-komite, atau badan-badan yang isinya hanya orang-orang yang itu-itu saja tanpa parameter setting yang jelas untuk penghitungan ‘input output productivity’ dari budget yang dikeluarkan.

 Sementara semisal DSN-MUI yang tidak ada alokasi budget rutin khusus dari pihak manapun dan hanya mengandalkan kemanfaatan aktivitas mereka dalam memberikan naungan, nasihat, fatwa dan arahan dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah serta sektor riilnya menjadi acuan bagi industri syariah serta  produktif konservatif dalam banyak hal kesyariahan.

 Pihak semisal DSN-MUI inilah yang sepantasnya diisi orang-orang professional, bukan semata wakil-wakil ormas untuk bisa menjadi ‘Rahmatan lil ‘aalamiin’.

 Tidak berlebihan jika kondisi yang ada digambarkan dengan kata-kata pantun satire sebagai berikut:

 Kamu bersyariah saja susah…

Bagaimana mau mudah.

 Banyak maumu…

Tapi singkat ikhtiarmu.

 Bukan masalahmu yang berat…

Tapi kamu terlambat mengikuti syariat.

 Allah Ta’ala telah memberi semuanya…

Tapi kamu bersyariah semaunya.

Permintaanmu beribu-ribu…

Tapi syariahmu ditikung-tikung terburu-buru.

 Mimpi dan cita-citamu setinggi langit…

Tapi implementasi syariahmu cuma di langit-langit.

 Ingin cepat terkabul syariah yang kau damba…

Tapi kau senantiasa ragu dengan ketetapanNya.

 Maunya implementasi syariah dimudahkan…

Tapi pertimbangan akal sehat sering dilupakan.

 Inginnya syariah dapat membuat tenang dan bahagia…

Tapi diskusi-diskusi syariah bukan dengan senang dibuka.

 Jadi apa sih sebenarnya maumu…

Masih saja tidak sejalan dengan Allah Ta’ala Tuhanmu.

 Nas’alullaaha as-salaamah wal ‘afiyah.

Allaahul muwafiq ila aqwamith thariiq.

Allahu ya’khudzu bi’aidina ila ma fihi khayr lil islam wal muslimin.

 Fastabiqul khayraat.

Billaahi sabiilil haqq.

Wabillaahi tawfiq wal hidayah.

 Semoga keikhlasan para pendiri Muhammadiyah beserta anak cucunya yang ikhlas dalam beramal shalih dan yang meneladani orang-orang shalih dan para Nabi dapat menjadi ibrah bagi siapa saja yang berjiwa negarawan sekaligus agamawan untuk Indonesia yang lebih baik. Aamiin Yaa Rabb.

*Aat Surya Safaat adalah Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI). Pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA New York (1993-1998) dan Direktur Pemberitaan ANTARA (2016)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *