KABAR OPINI

UU KIA, Apakah Solusi Ibu dan Anak Sejahtera?

872
×

UU KIA, Apakah Solusi Ibu dan Anak Sejahtera?

Sebarkan artikel ini
Zulfa Khaulah (Aktivis Dakwah Muslimah)
Zulfa Khaulah (Aktivis Dakwah Muslimah)

Sehubungan dengan itu, selama masa cuti tersebut mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan keempat. Kemudian 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.(Detiknews.com, 7/6/2024).

Benarkah UU KIA Solusi Kesejahteraan?

Pengesahan RUU KIA menjadi UU banyak mendapat respon positif karena dianggap membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja.

Namun, jika kita melihat hal yang mendasari lahirnya UU KIA bukanlah untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, melainkan untuk meraih target ekonomi nasional.

Sebagaimana, Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menjelaskan bahwa pengesahan UU KIA membuktikan bahwa negara terus bergerak membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan.

Dengan demikian, hal tersebut membuktikan bahwa UU KIA hanya akan menguatkan pemberdayaan ekonomi perempuan dan semakin mengeksploitasi perempuan untuk menghasil uang. 

Sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa  perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja. Sistem kapitalisme memandang bahwa tolok ukur kebahagiaan adalah uang atau materi.

Oleh karena itu, tidak heran jika standar yang digunakan dalam mengatur perbuatan termasuk sistem ekonominya adalah untung rugi bukan halal haram.

Selain itu, cuti 6 bulan tidak cukup untuk mendampingi anak, karena anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga usia mumayyiz (7 tahun Pertama), bukan hanya pada seribu hari pertama kehidupan.

Bagaimana pun juga, tidak ada jaminan para ibu memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan, bahkan menyempurnakan hingga 2 tahun. Sebab, bagi ibu yang tanpa masalah medis, jatah cuti hanya boleh 3 bulan.

Di samping itu, negara juga minim dalam menjamin dan memfasilitasi para ibu. Tidak ada jaminan dan fasilitas kesehatan gratis bagi ibu dan anak. Demikian juga, tidak ada jaminan tersedianya makanan yang bergizi seimbang bagi ibu dan anak.

Demikian juga, negara tidak menjamin pekerjaan bagi laki-laki sebagai kepala keluarga, sehingga banyak yang PHK dan para ibulah yang menanggung beban ekonomi keluarga.

Jadi, bisa dibayangkan bagaimana lelahnya menjadi seorang ibu pekerja dan juga masih mengurus urusan rumah yaitu suami dan anak. 

Alhasil, para ibu pekerja harus rela keluar rumah melawan fitrahnya sebagai perempuan yang seharusnya dinafkahi, diayomi serta dilindungi karena keadaan hari ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *