Oleh : Muh. Risaldi Sibay
KABAR LUWUK – Kejanggalan dalam Pembentukan Banggai Energi Utama, Penyelidikan Diperlukan. Pemerintah daerah tampaknya menghadapi masalah serius dengan pembentukan dan penyertaan modal Banggai Energi Utama (BEU), yang dirancang untuk mengelola Participating Interest (PI) sebesar 10% di Blok Senoro. Sejumlah kejanggalan yang memprihatinkan telah ditemukan, menimbulkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan terhadap peraturan dan transparansi pengelolaan dana publik.
Peraturan Daerah yang Tak Dikenal
Salah satu masalah utama adalah tidak dipublikasikannya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur status hukum BEU. Perda ini sangat penting karena akan menentukan legitimasi BEU dalam mengelola PI 10%. Tanpa adanya publikasi dan sosialisasi yang jelas mengenai Perda tersebut, masyarakat dan pihak terkait tidak bisa memantau kepatuhan hukum BEU secara efektif.
Kepemilikan Saham yang Mengundang Masalah
Menurut Permen ESDM 37/2016, Pasal 7 ayat (6) huruf b, perusahaan yang mengelola PI 10% harus memiliki 99% saham yang dimiliki oleh perusahaan dengan sisa saham yang terafiliasi dengan pemerintah daerah.
Selanjutnya, di ayat berikutnya dinyatakan bahwa tidak boleh ada unsur swasta dalam kepemilikan saham tersebut. Namun, BEU tampaknya melanggar ketentuan ini karena terlibat dalam berbagai sektor usaha yang seharusnya tidak terkait dengan fokus utamanya.
Keterlibatan BEU dalam sektor drilling, engineering, procurement, construction, serta layanan lainnya seperti katering dan penyediaan kendaraan industri berpotensi melanggar ketentuan regulasi yang ada.
Potensi Pelanggaran Hukum
Melihat keterlibatan BEU dalam berbagai sektor usaha, ada kekhawatiran besar mengenai kemungkinan adanya investasi swasta yang jelas dilarang oleh peraturan. Jika BEU benar-benar bertindak sebagai perusahaan induk dan anak perusahaannya yang mengelola PI 10%, ini akan menimbulkan dugaan pembohongan publik dan manipulasi informasi.
Sejauh ini, tidak ada informasi yang transparan mengenai progres BEU dalam sektor-sektor yang disebutkan. Jika BEU terlibat dalam pengeboran, mereka seharusnya sudah aktif beroperasi bersama perusahaan lain yang terlibat di Donggi Senoro, tetapi tidak ada bukti bahwa hal ini telah terjadi.
Alokasi Anggaran yang Tidak Transparan
Salah satu aspek yang paling mencolok adalah alokasi anggaran yang sangat besar, yaitu Rp 16 miliar, yang dialokasikan untuk penyertaan modal BEU selama empat tahun.
Dari jumlah tersebut, pemaparan oleh direksi BEU lebih banyak membahas penggunaan dana untuk operasional seperti gaji dan perjalanan dinas daripada untuk kemajuan bisnis atau pengembalian investasi kepada daerah.
Anggaran untuk gaji tahun ini mencapai Rp 2,7 miliar, sementara untuk operasional dan perjalanan dinas masing-masing sebesar Rp 894 juta dan Rp 694 juta. Dengan hampir dua tahun beroperasi, BEU seharusnya sudah mampu memberikan pengembalian investasi kepada daerah.
Progres PI 10% yang Menyisakan Pertanyaan
Kejanggalan terbesar adalah informasi mengenai progres PI 10% yang seolah-olah hanya menunggu penawaran dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).
Padahal, sesuai dengan Pasal 2 Permen ESDM, penawaran ini adalah kewajiban yang harus dilakukan kepada pemerintah daerah.
Oleh karena itu, pengeluaran sebesar Rp 16 miliar sejak 2023 dianggap sangat prematur karena waktu penawaran baru akan ditetapkan pada akhir 2027, dengan selisih waktu mencapai empat tahun. Penggunaan dana yang belum ada kepastian tersebut berpotensi menyebabkan pemborosan yang tidak perlu.
Potensi Penyimpangan dan Perlu Audit
Secara keseluruhan, terdapat potensi penyimpangan serius dalam pengelolaan BEU yang bisa merugikan pemerintah daerah dan melanggar regulasi yang berlaku.
BEU berpotensi menjadi proyek yang tidak efektif dan menyebabkan kerugian keuangan daerah. Lebih jauh lagi, ada kemungkinan BEU disalahgunakan sebagai saluran pencucian uang.
Oleh karena itu, penting untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan ini untuk memastikan bahwa semua kegiatan dan penggunaan dana dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kepada pemerintah daerah dan pihak berwenang terkait, tindakan cepat dan transparansi dalam menangani isu ini sangat diperlukan agar kepentingan publik dan keuangan daerah tidak terabaikan.***