KABAR OPINI

Upaya Hukum ke Mahkamah Konstitusi: Jalan Terakhir Mencari Keadilan di Tengah Kepongahan Politik

530
×

Upaya Hukum ke Mahkamah Konstitusi: Jalan Terakhir Mencari Keadilan di Tengah Kepongahan Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Irwan K Basir

KABAR LUWUK – Dalam alam demokrasi yang sehat, keberatan atas hasil Pilkada bukanlah tanda kelemahan, melainkan wujud kepercayaan pada institusi hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ruang konstitusional terakhir bagi mereka yang merasa dirugikan dalam proses tersebut.

Upaya Hukum ke Mahkamah Konstitusi: Jalan Terakhir Mencari Keadilan di Tengah Kepongahan Politik

Namun, alih-alih disambut sebagai bagian dari dinamika demokrasi, langkah ini justru sering dicibir dan disambut pongah oleh pihak yang merasa menang.

Kepongahan ini terlihat dari narasi sepihak yang menyudutkan upaya hukum sebagai bentuk “tidak legowo”. Seolah-olah kemenangan politik adalah segalanya dan tidak boleh dipertanyakan. Padahal, demokrasi tidak semata-mata tentang siapa yang memperoleh suara terbanyak, tetapi juga bagaimana proses itu berlangsung: adil, jujur, dan terbuka.

Menggugat ke MK bukan berarti menolak hasil pemilu secara keseluruhan, melainkan menuntut klarifikasi, transparansi, dan keadilan atas proses yang dinilai mencurigakan atau cacat prosedural. Justru, inilah etika berdemokrasi yang sesungguhnya—mempercayakan penyelesaian konflik pada institusi yang berwenang, bukan pada kekuatan massa atau narasi di media sosial dan pemberitaan pesanan.

Sikap pongah dari pihak yang merasa di atas angin justru bisa menjadi bumerang. Masyarakat akan menilai, siapa yang menghargai hukum dan siapa yang sekadar ingin berkuasa. Kemenangan sejati bukan hanya ditentukan oleh jumlah suara, tapi juga oleh kelapangan hati menerima proses hukum dan menghargai hak konstitusional pihak lain.

Oleh karena itu, upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi harus dilihat sebagai bagian integral dari sistem demokrasi, bukan ancaman terhadap legitimasi. Justru di sinilah kita diuji: apakah kita benar-benar menjunjung tinggi keadilan, atau hanya bersorak saat menang dan mencemooh saat ditantang.

Demokrasi Tanpa Ruang Sengketa adalah Otoritarianisme Terselubung

Dalam setiap kontestasi politik, ada pemenang dan ada yang belum menang. Namun, ketika pihak yang mengklaim kemenangan menutup ruang kritik dan memperolok-olok upaya hukum, kita patut curiga: apakah mereka benar-benar yakin menang secara sah, atau justru takut kebenaran terkuak?

Mahkamah Konstitusi bukan panggung sandiwara politik. Ia adalah benteng terakhir konstitusi. Ketika suara rakyat dinodai oleh dugaan kecurangan, manipulasi sistem, atau penyalahgunaan kekuasaan, maka MK menjadi harapan bagi tegaknya kebenaran. Upaya hukum ke MK bukan sekadar strategi politik—itu adalah ikhtiar moral.

Sayangnya, apa yang kita lihat justru penggiringan opini bahwa siapa pun yang menggugat adalah pecundang, pendendam, atau tidak siap kalah. Inilah bentuk baru dari pembunuhan karakter dalam demokrasi. Sementara itu, mereka yang merasa telah “menang” justru menunjukkan wajah arogansi: meremehkan proses, mengklaim legitimasi mutlak, bahkan menekan lembaga hukum lewat opini publik yang didesain sistematis.

Sikap ini berbahaya. Demokrasi tanpa kritik, tanpa ruang menggugat, dan tanpa mekanisme koreksi adalah demokrasi yang pincang. Justru, bangsa ini akan lebih sehat ketika semua pihak—baik yang menang maupun yang belum—berani menghadapi proses hukum dengan terbuka dan dewasa.

Biarlah Mahkamah Konstitusi bekerja tanpa tekanan, tanpa intervensi, dan tanpa narasi sesat yang menghakimi sebelum putusan dibacakan. Karena di sanalah letak kematangan berdemokrasi: bukan pada euforia kemenangan, tapi pada kedewasaan menerima bahwa dalam demokrasi, kebenaran bukan ditentukan oleh mayoritas, tetapi oleh keadilan.

Pada akhirnya, mereka yang merasa paling menang justru tengah berdiri di atas fondasi yang retak: kemenangan yang dipaksakan dengan mengangkangi aturan, memanipulasi sistem, dan membungkam kritik. Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah wilayah adalah bukti telanjang bahwa kecurangan dan pelanggaran benar-benar terjadi—bukan ilusi, bukan narasi kalah. Maka, siapa pun yang mengaku menang dalam situasi seperti itu sejatinya sedang merayakan kebohongan, bukan demokrasi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *