KABAR LUWUK – Program Bantuan Pemda Banggai Menuai Protes, SJSP Tak Sesuai Harapan. Pemerintah Daerah (Pemda) Banggai meluncurkan program inovatif bernama Satu Juta Satu Pekarangan (SJSP) dengan tujuan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Namun, program ini menuai kritik tajam dari para penerima bantuan yang merasa tidak mendapatkan manfaat yang diharapkan. Sejumlah warga mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap bantuan berupa bibit ayam pedaging yang diberikan dalam program ini.Senin 16 September 2024.
Program SJSP dirancang untuk mendukung masyarakat dalam meningkatkan ekonomi mereka dengan memanfaatkan lahan pekarangan secara efektif.
Dalam praktiknya, bantuan ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), terutama dalam hal program ayam pedaging. Warga desa merasa bantuan ini lebih menambah beban daripada memberikan solusi.
Di Desa Piondo, Kecamatan Toili Jaya, sejumlah warga seperti Murtam dan Juhariyah mengalami kesulitan yang signifikan. Murtam, salah satu penerima program SJSP, mendapatkan total 50 ekor bibit ayam dari dua kali distribusi.
Meskipun ia menerima pakan dan vitamin, bantuan tersebut tidak mencukupi kebutuhan ayam-ayam tersebut. Murtam harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli jagung giling agar ayam tetap bisa bertahan hidup. Hasilnya, ayam-ayam yang diternak tidak mencapai berat ideal dan terpaksa dijual dengan harga murah.
“Pakan yang diberikan tidak cukup. Ada ayam yang mati dan ada yang dijual dengan harga rendah karena ukurannya kecil,” keluh Murtam. Ia menambahkan, ayam-ayam tersebut tidak mendapatkan pembeli yang memadai di pasaran lokal.
Juhariyah, warga desa yang tinggal bersebelahan dengan Murtam, mengalami masalah serupa. Kandang ayam yang awalnya dirancang untuk beternak kini digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang.
Ia juga mengeluhkan kurangnya pakan dan vitamin yang diberikan. Meskipun sudah membeli pakan tambahan seharga Rp500 ribu, hasil dari beternak ayam tidak memberikan keuntungan.
“Pakan dan vitamin yang kami terima tidak cukup, dan ayam yang mati cukup banyak. Kami merasa program ini tidak memberikan solusi yang nyata,” ungkap Juhariyah. Ia juga menyebutkan bahwa tanpa adanya pelatihan atau pendampingan dalam beternak ayam, mereka terpaksa berjuang sendiri.
Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan program dan implementasinya di lapangan. Banyak penerima bantuan merasa bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan yang memadai untuk mengelola bantuan yang diberikan.
Sebagai contoh, dalam sektor pertanian atau perkebunan, masyarakat setempat yang sudah berpengalaman dapat mengelola bantuan dengan lebih efektif. Namun, untuk beternak ayam pedaging, mereka merasa tidak siap dan tidak memiliki keahlian yang diperlukan.
Kritik ini mencerminkan kebutuhan untuk evaluasi mendalam terhadap program SJSP. Pemerintah perlu mempertimbangkan penyediaan pelatihan dan pendampingan yang lebih baik agar bantuan yang diberikan benar-benar dapat meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat dan tidak hanya menjadi beban tambahan.
Tanpa adanya perubahan dalam pendekatan ini, program-program serupa di masa depan mungkin akan menghadapi tantangan yang sama dalam mewujudkan tujuan mereka.***