“ Diduga Suami-Istri tergabung dalam Petugas PPS”
KABAR LUWUK –Pelanggaran Etik dalam Pembentukan KPPS di Kelurahan Karaton Menyulut Kontroversi. Kontroversi mewarnai proses pembentukan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kelurahan Karaton, dengan terjadinya pelanggaran terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 3 Tahun 2018. Pasal 36 Ayat 1 Huruf i PKPU menegaskan bahwa anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan KPPS tidak boleh berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara pemilu.
Ironisnya, pelanggaran tersebut terjadi di PPK dan KPPS Kelurahan Karaton, di mana terdapat lebih dari satu pasangan suami istri yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu 2024. Hal ini menuai sorotan, terutama ketika terjadi insiden di salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Varni Husain, seorang aktivis, mengungkapkan kekecewaannya terhadap situasi ini. Dia menyatakan bahwa anggota KPPS menuntut transparansi dalam penggunaan biaya operasional TPS, namun upaya mereka malah dihantui oleh sanksi. Lebih lanjut, ada indikasi bahwa PPK dan KPPS cenderung berpihak kepada ketua TPS yang dinilai tidak kompeten.
Mediasi yang dilakukan terlihat tidak adil karena cenderung melindungi pasangan suami istri yang terlibat dalam insiden tersebut. Meskipun aturan menyatakan bahwa pasangan suami istri yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya dikenakan sanksi pemberhentian oleh KPU, penanganan kasus ini terkesan tidak adil dan melindungi pelanggar.
Sementara itu, dalam konteks pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPU RI, KPU Banggai juga terlihat lalai dalam memverifikasi penerimaan anggota penyelenggara pemilu.
Budi, mantan Komisioner KPU Kabupaten Banggai, menekankan pentingnya penegakan aturan untuk menjaga integritas dan transparansi dalam proses demokrasi.
Munculnya kasus ini menggarisbawahi perlunya langkah tegas dari KPU dan pihak terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan menjaga kredibilitas penyelenggara pemilu ke depannya.
Hal ini menunjukkan perlunya sistem pengawasan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang.
Berita tersebut mencerminkan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran yang terjadi tidak hanya mencakup aspek legalitas, tetapi juga menimbulkan keraguan akan integritas dan transparansi dalam penyelenggaraan demokrasi.
Perlu dicatat bahwa KPPS memiliki peran penting dalam memastikan kelancaran dan keabsahan suatu pemilihan. Kehadiran pasangan suami istri dalam satu KPPS dapat menimbulkan konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan wewenang yang mengarah pada keraguan publik terhadap keadilan pemilu.
Selain itu, sikap yang ditunjukkan oleh PPK dan KPPS yang cenderung melindungi pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran, menunjukkan kelemahan dalam sistem pengawasan internal. Diperlukan upaya serius untuk memperbaiki sistem pengawasan dan penegakan aturan agar dapat memberikan jaminan atas integritas dan transparansi dalam proses demokrasi.
KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu harus bertindak tegas dalam menegakkan aturan yang ada. Langkah-langkah yang diambil haruslah proporsional dan konsisten, tanpa pandang bulu terhadap siapa pun yang melanggar peraturan.
Demikian pula, partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan potensi pelanggaran sangatlah penting. Semua pihak harus bersatu untuk menjaga integritas pemilihan dan meyakinkan bahwa setiap suara dihargai dan dihitung secara adil.
Ke depannya, pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya aturan dalam menjaga proses demokrasi yang bersih dan transparan.
Hanya dengan memastikan kepatuhan terhadap aturan dan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap pelanggar, kita dapat membangun fondasi yang kokoh bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.***