KABAR OPINI

Pajak Naik Kok Bangga?

608
×

Pajak Naik Kok Bangga?

Sebarkan artikel ini
Fitriawati Ahsan
Fitriawati Ahsan

KABAR LUWUK  – Pajak Naik Kok Bangga. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik.

Bendahara negara ini menyebut, pajak merupakan tulang punggung dan sekaligus instrumen yang sangat-sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya.

Menkeu merinci, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun.

Bahkan, untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun.

Menurut Menkeu, dalam proses mencapai target penerimaan pajak tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sektor keuangan yang terganggu, perubahan iklim, bencana alam, hingga faktor pesatnya perkembangan digitalisasi.

Pajak dalam kapitalisme

Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan menkeu sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat.

Hal ini lumrah karena dalam sistem kapitalis, pajak adalah sumber terbesar pendapatan Negara untuk membiayai Pembangunan. 

Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kedzaliman dan membuktikan bahwa Negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata Kelola urusan Negara.

Inilah lemahnya sistem kapitalis dalam mengatur perekonomian sehingga menjadikan Pajak sebagai pilar utama Negara. Apa saja yang bisa mendatangkan atau berhubungan dengan uang akan dikenakan pajak.

Padahal sumber daya alam kita tak terhitung banyaknya, kaya akan sumber daya alam nyatanya tidak mampu menghantarkan rakyat pada kesejahteraan karena buruknya pengelolaan Negara terhadap SDA yang melimpah.

Dibukanya kran investasi bagi asing adalah satu dari banyak hal yang menjadikan Negara tidak mampu secara mandiri mengelola Sumber daya alamnya.

Ekonomi Islam sebagai Solusi

Hal ini sangat berbeda dengan Sistem Islam, ada banyak sumber penerimaan Negara, dengan jumlah yang besar. Hal ini sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dengan pengelolaannya yang sesuai dengan sistem ekonomi Islam.

Dalam hadis dikatakan, ”Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang, rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Maksudnya adalah segala kekayaan alam, baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam, ataupun minyak bumi, adalah milik rakyat.

Negara punya kewajiban mengelola dan memberikan hasil pengelolaan kepada masyarakat secara merata. Haram membiarkan pengelolaan sumber daya alam ke pihak swasta maupun individu.

Selain dari pengelolaan SDA, Islam juga mengatur pemasukan dari berbagai sektor. Misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ganimah. Semua pemasukan itu akan membuat kas Negara dalam hal ini disebut baitulmal terisi dan bisa digunakan oleh Negara untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya.

Soal pajak, Islam tidak menjadikannya sebagai pemasukan utama. Pajak hanya akan dipungut ketika Negara mengalami kekosongan kas. Itu pun hanya untuk kaum muslim yang kaya.

Bagi kaum muslim lainnya atau nonmuslim (kaya atau tidak) tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak. Adapun soal jizyah bukanlah pajak sebagaimana yang ada dalam sistem kapitalis saat ini.

Jizyah hanya dipungut kepada non-muslim sebagai ganti keamanan mereka didalam Negara. Dan tentu saja jizyah tidak dengan nilai fantastis yang mendzolimi non-muslim.

Sistem keuangan seperti ini hanya ada pada Negara yang menjadikan Islam sebagai landasan aturannya. Negara Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan Islam. Allahu a’lam bishawwab.

Oleh: Fitriawati Ahsan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *