Jika institusinya tidak berbadan hukum bisa juga didaftarkan di Kesbangpol Kemendagri atau yang berbadan hukum akta notaris bisa didaftarkan di kemenkumham RI dan akan terbit Skep AHU nya untuk bisa memiliki aset atas nama badan hukum tersebut.
OA Rasa Ormas Tumbuh Menjamur
Konon khabarnya “OA rasa Ormas” sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai ratusan dan berlomba-lomba merekrut calon advokat baru.
Terus pertanyaannya peran sebagai advokat senior dan sebagai penegak hukum dari salah satu “Catur Wangsa” penegak hukum, apakah akan diam saja dan melakukan pembiaran?
Ingatlah: ”Sesungguhnya kejahatan tidak hanya timbul karena kebrutalan orang jahat atau mereka yang kreatif merekayasa hukum, tapi melainkan juga karena diamnya orang baik yang mengerti“.
Izin Pendidikan
Setiap penyelenggara pendidikan di negara ini, apalagi kalau ikut menerbitkan sertifikat atau ijazah semestinya harus mengantongi izin dari Kemendiknas RI. Kalau tidak ada izin maka akan terancam sanksi vide pasal 68-71 UU Sisdiknas RI No.20 tahun 2003 berupa hukuman penjara dan denda sampai satu milyar rupiah.
Negara saja dalam menyelenggarakan pendidikan harus punya izin. Misalnya, Sekolah IPDN Kemedagri yang khusus memproduk para calon pejabat Camat/Lurah baru, juga punya izin dari Kemendiknas.
Sekolah STAN yang terkenal itu berada di bawah Kemenkeu RI juga punya izin khusus. Tetapi, ada OA menyelenggarakan pendidikan PKPA dan UCA seenaknya tidak pakai izin.
Fenomena apakah ini? Selaku penegak hukum, Advokat malahan sengaja melanggar hukum untuk memperoleh cuan.
Solusi
Bahwa untuk menjaga marwah profesi advokat agar tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena rendahnya kualitas jasa hukum advokat pada klien, kiranya perlu dipikirkan regulasinya segera guna mengatasi masalah tersebut, karena masyarakat pencari keadilan pengguna jasa advokat berpotensi menjadi korban.
Penyebab menjamurnya OA rasa Ormas ini adalah terbitnya Surat Ketua MA-RI Nomor 73/kma/V/2015 yang tidak ada dalam nomenklatur hirarkhi perUU di Indonesia berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011. Surat mana hanya bersifat internal di lingkungan peradilan umum yang melangkahi ketentuan per UU yang berlaku.
Padahal sudah ada putusan Mahkanah Konstitusi No.101 tahun 2009 dan putusan MK-RI Nomor 36 tahun 2015 tentang eksistensi institusi OA tersebut di Indonesia.
Sudah saatnya MA RI mencabut dan membatalkan surat Ketua MA RI tersebut demi tercapainya penegakan hukum yang berkeadilan yang diperjuangkan oleh para Advokat yang bukan Advokat abal-abal produk OA rasa Ormas dan sangat berpotensi merugikan klien pengguna jasa advokat.
Hendaknya Ketua Pengadilan Tinggi juga bisa menyikapinya dengan baik dan “positif thinking” dalam melakukan seleksi sebelum melakukan prosesi pengambilan sumpah calon advokat dari suatu OA murni, bukan dari OA rasa Ormas.
Ingatlah Advokat adalah profesi tertua di dunia setelah profesi dokter. Jika dokter malapraktek korbannya hanya satu orang, tapi jika Advokat malpraktek korbannya bisa jadi akan mengalami masalah turun temurun.***
*Muhammad Yuntri adalah Pembina The Indonesia Advocate Watch.