“Narasumber berhak menolak jika Wartawan Belum Pernah UKW”
KABAR LUWUK – Ketua PWI Banggai ungkap perbedaan aturan dan tanggung jawab wartawan dalam Media Arus Utama dan Media Sosial. Kegiatan Sosialisasi dan Implementasi Peraturan dan Non Peraturan Bawaslu mengenai pencegahan berita hoax berbasis media sosial diselenggarakan secara langsung oleh Iskandar Djiada, S. Sos, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Banggai.
Dalam paparan awalnya, Iskandar Djiada mengungkapkan perbedaan mendasar dalam aturan dan tanggung jawab wartawan antara media arus utama dan media sosial. Kamis 25/1/2024.
Menurut Iskandar Djiada, media arus utama, seperti koran media cetak, majalah, tabloid, media elektronik, dan media online, beroperasi berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 dengan lembaga pengawas Dewan Pers.
Di sisi lain, media sosial bergerak berdasarkan UU No. 11 tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No. 19 tahun 2016, dan saat ini pemerintah tengah merencanakan revisi UU ITE.
“Media arus utama memiliki aturan main yang jelas dan harus memenuhi badan hukum resmi. Wartawan di media arus utama juga diwajibkan untuk bersertifikasi dan mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) sejak tahun 2011,” ujar Iskandar. Hal ini memberikan landasan hukum yang kuat dalam penanganan berita yang dipertanyakan.
Iskandar juga menyampaikan bahwa jika ada keluhan terkait pemuatan berita di media arus utama, proses penyelesaiannya relatif sederhana. Media tersebut diwajibkan memberikan hak jawab, dan jika hak jawab tidak digunakan, pihak yang dirugikan dapat melapor kepada Dewan Pers atau melalui jalur hukum. Dewan Pers dapat berperan sebagai saksi ahli dalam penanganan hukum.
Ketua PWI Banggai, Iskanda Djiada menegaskan agar masyarakat tidak menganggap media arus utama sama dengan media sosial. Dia menyoroti tekanan keras terhadap wartawan yang bekerja tanpa landasan hukum, yang dapat menyebabkan narasumber menolak untuk mengontrol langsung di media, berpotensi mengakibatkan sanksi terkait izin usaha media.
Dengan penjelasan ini, Iskandar Djiada berharap masyarakat dapat memahami perbedaan aturan dan tanggung jawab wartawan di kedua jenis media tersebut untuk menciptakan informasi yang akurat dan bertanggung jawab.
Iskandar Djiada juga menyoroti pentingnya memahami perbedaan esensi antara media arus utama dan media sosial. Media arus utama, menurutnya, bertindak sebagai penjaga nilai-nilai jurnalisme yang profesional, sedangkan media sosial, seringkali bersifat lebih cepat dan dapat menjadi sarang penyebaran berita palsu atau hoaks.
“Dalam era digital ini, kita harus memahami bahwa media sosial memiliki kecepatan dan jangkauan yang sangat besar. Oleh karena itu, peraturan yang mengatur media sosial juga harus terus diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan dinamika informasi di masyarakat,” ujar Iskandar.
Beliau menambahkan bahwa pemerintah saat ini tengah berupaya melakukan perbaikan dengan merevisi Undang-Undang ITE guna menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Namun, Iskandar menegaskan bahwa saat ini acuan hukum yang berlaku masih pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008.
Ketua PWI Banggai juga mengajak semua pihak, terutama wartawan dan narasumber, untuk bersama-sama menjaga integritas profesi wartawan. Dengan memiliki landasan hukum yang kuat dan mematuhi kode etik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers, wartawan diharapkan dapat memberikan informasi yang benar, akurat, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam penutup paparannya, Iskandar Djiada menekankan bahwa kesadaran akan tanggung jawab wartawan tidak hanya menjadi tugas internal, melainkan juga tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan informasi yang sehat dan dapat dipercaya.
Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat seputar peran dan fungsi wartawan dalam menjaga integritas dan keberlangsungan demokrasi di era digital ini. ( MAM )**