Oleh: Fitriawati Ahsan (Aktivis Dakwah Islam)
KABAR LUWUK, OPINI – Tidak etis pejabat mundur dari jabatan demi menjadi caleg. Persaingan sengit dalam perjalanan menuju Pemilu 2024 kini sudah terasa, dengan banyak partai politik mendaftarkan calon legislatifnya untuk pemilihan mendatang.
Dalam tren ini, terdapat fenomena yang tidak etis, yaitu beberapa pejabat yang mengundurkan diri dari jabatannya demi mencalonkan diri sebagai caleg.
Saat ini, terdapat 9 pejabat tinggi, baik menteri, wakil menteri, maupun kepala badan yang diusung oleh partai politiknya untuk duduk di DPR RI (Instagram post: Perupadata).
Seiring dengan itu, terdapat juga pencalonan dari kalangan artis yang menuai perhatian. Menurut Lucius Karus, Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), keputusan partai politik untuk mengusung artis sebagai calon anggota legislatif pada pemilu 2024 cenderung didasari oleh “nafsu untuk mendongkrak jumlah kursi di parlemen” daripada memperkuat kerja-kerja legislasi.
Lucius Karus menyebut bahwa calon-calon artis yang sudah populer lebih memiliki daya jual dibandingkan dengan kader-kader partai yang belum dikenal.
Oleh karena itu, pencalonan selebriti sebagai anggota legislatif dianggap sebagai cara mudah bagi partai politik untuk meningkatkan suara atau kursi di parlemen.
Trend semacam ini telah berlangsung sejak diberlakukannya pemilu langsung pada tahun 2004, di mana jumlah kursi anggota DPR yang diperebutkan semakin banyak sementara persaingannya semakin ketat dengan bertambahnya jumlah partai politik.
Namun demikian, menurut Lucius Karus, anggota legislatif yang berasal dari kalangan artis dan telah menduduki DPR selama ini tidak memiliki kapasitas kinerja yang memadai. Oleh karena itu, kehadiran calon legislatif dari kalangan artis sebenarnya merugikan masyarakat (BBC Indonesia: 13-05-23).
Tanggapan Pengamat
Tidak hanya itu, fenomena lain yang menarik perhatian adalah banyaknya kepala daerah yang mengundurkan diri dari jabatannya untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, menilai bahwa tindakan para kepala daerah dan wakil kepala daerah ini tidak etis.
Menurutnya, secara etika, para kader yang menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah seharusnya menyelesaikan masa jabatan mereka hingga berakhir (Tirto.id: 21-05-23).
Kisruh dalam pencalonan calon anggota legislatif ini menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan memiliki daya tarik yang besar, terlebih dengan manfaat gaji pensiun seumur hidup yang dapat mereka nikmati meskipun hanya menduduki kursi DPR sekali.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika nafsu ini mampu mengalahkan amanah yang telah mereka emban sebelumnya.
Namun, perilaku ini tidak bertanggung jawab dan sangat merugikan rakyat, namun ironisnya dilindungi oleh undang-undang. Jika mereka saja mampu meninggalkan amanah sebagai kepala daerah demi menduduki kursi parlemen.
Padahal ini sejatinya untuk kepentingan pribadi mereka, bukan untuk kepentingan rakyat, maka dengan amanah-amanah lainnya yang diberikan, mereka dengan mudah akan meninggalkan tanggung jawabnya.
Sistem Pemeritahan Islam
Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Mengapa? Karena Islam menempatkan amanah sebagai hal yang penting dan harus dilaksanakan, karena ada pertanggungjawaban di dunia akhirat.
Dalam Islam, perwakilan rakyat juga disebut sebagai Majelis Umat, yaitu majelis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat bagi penguasa untuk meminta masukan dan nasihat dalam berbagai urusan.
Mereka mewakili umat dalam mengoreksi, mengontrol, dan bermusyawarah, bukan sebagai pembuat kebijakan atau pembuat hukum. Kewenangan untuk membuat hukum hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Penguasa hanya bertugas sebagai pelaksana syariah Islam. Jika semua kebijakan benar-benar diterapkan sesuai dengan syariah Islam, tidak akan ada yang merasa terzalimi. Tidak akan ada kebijakan yang dibuat sesuai dengan kepentingan dan nafsu pribadi, melainkan semata-mata didasarkan pada hukum-hukum Allah. (***)