KABAR LUWUK, BANGGAI – Harapan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir agar anak usaha PT Pertamina (Persero) bisa segera masuk bursa (initial public offering/IPO) paling telat dua tahun ke depan butuh waktu panjang. Apalagi salah satu yang diproyeksikan untuk IPO adalah subholding sektor hulu (upstream). Pasalnya, ada perusahaan di bawah subholding hulu berstatus kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) langsung, yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina EP Cepu (PEPC) dan join operating body (JOB) di bawah pengelolaan PT Pertamina Hulu Energi.
Pertamina EP dan PEPC saat ini menjadi subholding dari holding migas PT Pertamina Hulu Energi. Pada pekan lalu Pertamina memutuskan untuk mereorganisasi perusahaan dengan membentuk subholding sehingga Pertamina menjadi superholding migas.
Di sektor hulu, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) menjadi holding sedangkan anak perusahaan hulu lain– yang sebelumnya setara dengan PHE– menjadi subholding. Perusahaan yang jadi subholding hulu tersebut adalah Pertamina EP, PEPC, PT Pertamina Hulu Indonesia, PT Pertamina International EP, dan PT Pertamina Hulu Rokan. Seluruh managing director PEP, PEPC, PHI dan PIEP telah diisi, tinggal managing director PHR yang belum mendapatkan figur kendati nama Jafee A Suardin disebut-sebut sebagai managing director perusahaan tersebut.
Mantan pejabat BP Migas (kini SKK Migas) menyatakan rencana Kementerian BUMN untuk meng-IPO-kan sekurangnya satu anak usaha hulu butuh waktu panjang. Apalagi, PEP, PEPC, dan JOB memiliki keistimewaan (privilese) kontrak. Sumber tersebut menyebutkan, PEP memiliki wilayah kerja heritage dengan full privileges, hanya boleh dimiliki 100 % oleh Pemerintah/Negara. Kontraknya juga PSC khusus disebut PPC (Pertamina Petroleum Contract). Ini hanya berlaku untuk PEP karena split bagi hasil Pemerintah dan PEP adalah 60% : 40% bukan seperti PSC standard 85% : 15%.
“PEP tidak boleh di IPO kalau kontraknya tidak diubah menjadi PSC standard dengan split 85% : 15%,” ujar sumber.
Hal yang sama juga terjadi pada JOB. Misalnya, JOB Blok Jambi Merang kepemilikan 50% PHE:50% Mitra. Split bagi hasil 50% milik PHE dengan Pemerintah adalah 40%:60%. Sedangkan split bagi hasil 50% milik Mitra dengan Pemerintah adalah 15% : 85%.
“Karena ketentuannya semua privileges yang diberikan Pemerintah kepada BUMN tidak boleh dimiliki swasta , kalau yang ada dibawah PHE mau dibawa go public kontrak PSC-nya harus diubah dicabut privileges-nya menjadi PSC Standard,” ujarnya.
Begitu juga PEPC dimiliki Pertamina 50% dan Exxon 50%. Split bagi hasil Pertamina: Pemerintah adalah 40% : 60%. Sedangkan split bagi hasil Exxon : Pemerintah adalah 15% : 85%.
Berdasarkan UUD 45 pasal 33, menurut sumber, hak istimewa BUMN yang diberikan oleh Negara melalui Pemerintah tidak bisa dialihkan ke publik. Karena itu, bila anak-anak usaha Pertamina dibawah holding hulu PHE akan IPO, semua keistimewaan dalam kontrak harus dikembalikan kepada Negara cq Pemerintah. “Dengan kata lain, PSC-nya harus diubah semua menjadi PSC Standard,” katanya.
Sumber khawatir melihat dewan komisaris PHE bukan orang-orang yang paham PSC, kecuali Djoko Siswanto (Sekjen Dewan Energi Nasional) dan CEO Sub Holding Hulu juga bukan orang yang paham anatomi PSC. Dengan demikian, target yang diberikan Menteri BUMN agar ada anak usaha hulu Pertamina bisa masuk bursa butuh waktu panjang.
“Rasanya sulit, belum lagi masalah pajak yang nilainya sangat besar untuk mengalihkan aset-aset PEP dan lainnya menjadi aset-aset yang dimiliki PHE,” katanya.
Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengaku perlu waktu untuk menjelaskan keistimewaan kontrak anak usaha hulu Pertamina. “Harus sambil ngopi menjelaskannya,” ujarnya.
Adapun Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas, yang dikonfirmasi terpisah, mengaku belum mengetahui secara detail soal keistimewaan kontrak Pertamina dengan SKK Migas. “Setahu saya, split khusus memang begitu untuk Pertamina EP,” kata Julius, Selasa (16/6).
Terkait rencana IPO anak usaha hulu Prtamina, Julius mengatakan, belum tahu dan belum ada pembicaraan dengan SKK Migas, termasuk tindak lanjut dari perubahan-perubahan yang ada di Pertamina terkait pengelolaan aset dan manajemen operasi secara menyeluruh.
Taufik Aditiyawarman, Direktur Produksi dan Pengembangan PT Pertamina Hulu Energi (holding), mengatakan legal formal kontrak masih sama. “Subholding virutal dibentuk untuk menjalankan koordinasi dan pengelolaan aset-aset tersebut sesuai klasternya,” ujar Taufik kepada Dunia Energi. [Sumber : duniaenergi.com]