Ia mengatakan, data BPS 0,3 persen petani kita memiliki pendidikan rendah dan rata-rata berumur 40 tahun ke atas.
“Lalu dimana mahasiswa pertanian ribuan tahun itu,” tanya Eva. Jawabnya, Ia disedot sektor lain tidak kembali ke kampungnya.
Eva juga menyoroti panjangnya distribusi pangan petani mulai dari penadah, penggilingan, pasar induk, jatuhnya ke konsumen mahal.
” Maka mata rantai distribusinya harus diputus, mendekatkan produsen dengan konsumen,” pungkasnya.
Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Dodi Moidady menilai dari film ditayangkan petani itu produsen, tapi keuntungannya 30 persen , 70 persen keuntungannya rantai distribusi panjang.
Dia menyebutkan , dari tayangan film itu juga banyak menggambarkan permasalahan dihadapi petani di Jawa , tentu konteksnya berbeda dengan petani ada di Timur berlawanan dengan taman nasioal, industri ekstraktif seperti pertambangan perkebunan sawit dan proyek strategis nasional.
Olehnya kata dia, penting pemerintah serius melihat problem-problem dihadapi petani tidak hanya terima bantuan dari pemerintah , ada masalah serius kepastian hak penguasaan lahan.
” Sebab petani kita sulit sekali mendapat kepastian hak penguasaan lahan,”pungkasnya.
Film dokumenter ekspedisi Indonesia baru , Silat Tani ini disutradarai oleh Dandy Laksono dengan durasi tayang 70 menit menggambarkan kondisi petani di Wonosobo, Wadas terancam hadirnya perusahaan-perusahaan.
Sekretaris AJI Palu, Kartini Naiggolan mengatakan , nonton bareng dan diskusi adalah cara AJI Palu mengidentifikasi hal-hal mendasar dalam dunia pertanian di Sulawesi tengah.
” Konten film silat tani sangat memiliki keterkaitan dengan kondisi petani di daerah ini,” pungkasnya.(***)