Dalam percakapan telepon tersebut, tanpa disadari oleh Marsidin, panggilan tersebut diaktifkan dengan pengeras suara (loudspeaker) sehingga ucapan Marsidin yang meremehkan pertanyaan Bupati terdengar oleh banyak orang.
Marsidin yang mengira panggilan tersebut bersifat pribadi dan tidak resmi, secara spontan merespons dengan ucapan “sambarang dia itu,” yang dianggap tidak pantas dan merendahkan Bupati.
Tidak lama setelah insiden tersebut, Bupati Banggai langsung mengeluarkan Surat Keputusan yang membebastugaskan Marsidin dari jabatannya sebagai Kepala BPKAD.
Keputusan ini kemudian dilanjutkan dengan penurunan jabatannya setahun kemudian, yang akhirnya menjadi objek sengketa dalam kasus ini.
Marsidin yang merasa dirugikan oleh keputusan tersebut, menggugat Bupati Banggai di PTUN Palu. Dalam persidangan di PTUN Palu, pengadilan memutuskan untuk mengabulkan gugatan Marsidin secara keseluruhan.
Pengadilan menyatakan bahwa keputusan Bupati Banggai melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas pemerintahan yang baik.
PTUN Palu memerintahkan agar Bupati Banggai mencabut keputusannya dan mengembalikan Marsidin ke posisi semula atau jabatan yang setara, serta membayar biaya perkara.
Namun, pihak Bupati Banggai tidak puas dengan putusan tersebut dan mengajukan banding ke PTUN Makassar. Pada tanggal 3 Juli 2024, berkas banding diterima oleh PTUN Makassar dan diproses oleh tiga hakim yang terdiri dari Iswan Herwin sebagai ketua hakim, Jamres Saraan sebagai hakim anggota 1, dan Adhi Budhi Sulistyo sebagai hakim anggota 2.
Pada tanggal 7 Agustus 2024, PTUN Makassar akhirnya mengeluarkan putusan banding dengan nomor 74/B/2024/PT. TUN MKS. Dalam putusannya, PTUN Makassar memutuskan tiga hal: menerima permohonan banding dari pembanding, menguatkan putusan PTUN Palu, dan menghukum pembanding untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan. Besaran biaya yang harus dibayarkan oleh Bupati Banggai untuk pengadilan tingkat banding ditetapkan sebesar Rp250.000.
Dengan keluarnya putusan PTUN Makassar yang memperkuat putusan PTUN Palu, posisi hukum Marsidin kini semakin kuat.
Riswanto Lasdin, kuasa hukum Marsidin, mengungkapkan bahwa keputusan ini merupakan bentuk keadilan bagi kliennya yang telah menjadi korban keputusan yang tidak adil.
Ia juga menyatakan bahwa putusan ini diambil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan merupakan kemenangan yang sangat berarti bagi Marsidin.
Kasus ini menjadi pelajaran penting mengenai bagaimana seorang pejabat harus berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak besar terhadap karier dan kehidupan orang lain.
Keputusan yang diambil harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan hukum, bukan semata-mata karena emosional atau hal-hal yang bersifat subjektif.
Kini, Marsidin dapat kembali menjalani tugasnya dengan kehormatan yang telah dipulihkan oleh pengadilan.
Namun, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa dalam pemerintahan yang baik, tindakan dan keputusan harus selalu berlandaskan pada hukum dan etika, untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.***