Bawaslu-ads
BanggaiKABAR DAERAHKABAR PENDIDIKAN

Pemecah Batu, Berjuang Demi Membeli Buku Sekolah, Di Kemanakan Dana BOS ?

643
×

Pemecah Batu, Berjuang Demi Membeli Buku Sekolah, Di Kemanakan Dana BOS ?

Sebarkan artikel ini

KABAR LUWUK –  Pemecah Batu, Berjuang Demi Membeli Buku Sekolah, Di Kemanakan Dana BOS. Di tengah riuhnya aktivitas sehari-hari di Kilongan, Kecamatan Luwuk Utara, terdengar suara keras dari pukulan palu ke batu. Suara tersebut berasal dari seorang ibu bernama Wartini, yang tengah berjuang keras sebagai pemecah batu untuk menyambung hidup keluarganya.

Setiap hari, dengan tangan yang mulai menua namun penuh kegigihan, Wartini memecah batu satu per satu di bawah terik matahari.

Namun, di balik pekerjaannya yang berat itu, kini ia dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah sulit: kewajiban membeli buku sekolah untuk anak-anaknya.

Meskipun pemerintah telah melarang orang tua murid membeli buku dengan mengandalkan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pengadaan buku pelajaran, kenyataan di lapangan berbeda.

Salah satu sekolah dasar di Kecamatan Luwuk Utara masih memaksa orang tua, termasuk Wartini, untuk membeli buku pelajaran. Tidak hanya itu, mereka juga diharuskan membeli pakaian olahraga dan seragam batik, yang semakin membebani keuangan keluarga.

“Dengan penghasilan sebagai pemecah batu yang sangat minim, harga buku itu sangat mahal bagi saya,” ungkap Wartini dengan suara bergetar.

Setiap hari, ia hanya mampu mengumpulkan Rp 35 ribu, jumlah yang sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, apalagi untuk membeli buku sekolah.

Pada Jumat, 2 Agustus 2024, Hendrik Pontoh, Kasi Kelembagaan dan Sarana Prasarana Bidang SD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, menegaskan akan mengecek langsung informasi ini.

Setelah dihubungi, Kepala Sekolah menyatakan bahwa penjualan buku tersebut bukanlah inisiatif dari pihak sekolah, melainkan dilakukan oleh oknum guru.

Meskipun telah ada perintah untuk menghentikan penjualan buku di sekolah, orang tua murid tetap disarankan membeli melalui pihak ketiga di luar sekolah.

Keputusan ini tidak banyak membantu Wartini. “Membeli di luar sekolah atau di dalam sekolah, tetap saja saya harus mengeluarkan uang yang tidak saya punya,” katanya dengan nada putus asa.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penggunaan Dana BOS yang seharusnya meringankan beban orang tua.

Wartini dan orang tua lainnya berharap agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banggai dapat mengambil tindakan tegas terhadap oknum guru dan pihak sekolah yang melanggar aturan.

Kisah Wartini adalah cerminan dari perjuangan keras warga kurang mampu yang harus bertahan di tengah kebijakan yang tidak konsisten.

Beban berat yang mereka pikul seharusnya sudah teratasi oleh sistem pendidikan yang ada. Wartini hanya berharap agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak tanpa harus membebani orang tua yang hidup dalam keterbatasan ekonomi.***

IMIP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *