KABAR LUWUK – Legenda Asal Mula Bungkuko Pusaka. Kurang lebih 4 kilometer di atas Desa Sambiut, Kecamatan Totikum, yang dulunya bernama Salibantut, terdapat sebuah gunung. Penduduk menyebut tempat tersebut Bungkuko Pusaka (dalam bahasa Banggai, “Bungkuko” artinya “Gunung”).
Di puncak gunung tersebut berdiri sebuah bangunan yang konon, menurut kepercayaan penduduk, dulunya adalah istana nenek moyang penduduk Sambiut atau Salibantut. Menurut catatan sejarah, diyakini bahwa beliau adalah raja Banggai pertama. Penulis tidak bermaksud meragukan sejarah berdirinya Keraton Banggai yang telah ada, namun ingin menyampaikan sebuah cerita rakyat yang sangat diyakini oleh Penduduk Kecamatan Totikum, khususnya warga Sambiut dan sekitarnya.
Cerita rakyat ini telah ditanamkan begitu dalam sehingga menimbulkan rasa bangga yang kuat. Ini karena mereka meyakini nenek moyang penduduk Sambiut berhak diakui sebagai keturunan Raja.
Terlepas dari apakah pembaca mempercayai cerita ini atau tidak, penulis akan memulai Kisah Asal Mula Bungkuko Pusaka ini dari awal.
Pada zaman dahulu, ketika Kerajaan Banggai masih belum memiliki tomundo (raja), yang dianggap sebagai raja di sana adalah Tomundo Sasa atau Kucing yang diangkat sebagai raja, dengan bantuan para pembesar sebagai pelaksana pemerintahan.
Ketika Kerajaan Banggai berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate, Raja Ternate berkeinginan untuk menobatkan seorang raja di Kerajaan Banggai yang berkedudukan di Pulau Banggai. Raja Ternate memanggil para pembesar di Banggai untuk pemilihan raja tersebut.
Menurut ketentuan raja, siapapun yang lulus dalam pemilihan tersebut berhak dilantik menjadi raja di Kerajaan Banggai. Para pembesar berangkat dengan harapan salah satu dari mereka akan terpilih menjadi raja. Kriteria pemilihan antara lain adalah siapa pun yang pas memakai mahkota yang disediakan oleh Kerajaan Ternate.
Tiba di Kerajaan Ternate
Para pembesar dari Banggai tiba di Kerajaan Ternate. Mereka diuji dengan mencobakan mahkota ke kepala masing-masing. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang cocok dengan mahkota yang telah disediakan oleh Raja Ternate. Meskipun demikian, Raja Ternate yakin bahwa ada seseorang dari Banggai yang cocok dengan mahkota tersebut.
Raja Ternate meyakini bahwa rombongan dari Banggai belum lengkap hadir di tempat itu, masih ada yang tertinggal. Ketika ditanyakan kepada para pembesar, mereka menjawab bahwa masih ada yang tertinggal, seorang pemuda tukang timba air, bukan keturunan pembesar, yang tidak ikut karena menjaga perahu.
Mendengar ini, raja memerintahkan untuk memanggil pemuda tersebut untuk mencoba mahkota yang telah disiapkan. Pada perjalanannya dari perahu menuju keratin (istana), pemuda tersebut terlindungi oleh awan seperti payung, seolah-olah seorang pembesar yang harus dilindungi oleh pengawalnya agar tidak terkena panas.
Setelah pemuda itu datang menghadap, ternyata mahkota itu benar-benar cocok di kepalanya. Dengan demikian, pemuda tersebutlah yang berhak dilantik menjadi raja di Kerajaan Banggai.
Keturunan Tomundo Babolau
Pemuda ini sebenarnya bukanlah rakyat jelata, melainkan keturunan bangsawan. Namanya adalah Bailungku, salah satu dari empat putra seorang pembesar bernama Tomundo Babolau. Ayahnya percaya bahwa Bailungku adalah putra yang paling pandai dan bijaksana di antara keempat putranya yang bernama Julungku, Bailungku, Selungku, dan Lungkui. Oleh karena itu, ayahnya mengutus Bailungku pergi mewakili dalam pemilihan raja di Kerajaan Ternate.
Namun, penunjukkan Raja Ternate terhadap Bailungku ini menimbulkan rasa iri dan dengki dari pembesar lainnya. Meskipun mereka bersikap tunduk di hadapan Raja Ternate, diam-diam mereka merencanakan untuk mengeliminasi Bailungku agar dia tidak menjadi Raja Banggai.
Dengan cerdiknya, dalam perjalanan pulang, mereka memperdaya Bailungku dengan mengajaknya beristirahat di sebuah pulau. Ketika Bailungku sedang mencari benda-benda laut (Bia-bia), mereka tiba-tiba meninggalkannya dan melarikan perahu untuk pulang menuju Banggai.
Mereka berharap Bailungku akan mati kelaparan di pulau terpencil tersebut dan tidak dapat menyusul mereka. Bagaimana nasib Bailungku yang ditinggalkan seorang diri di pulau ini? Akankah dia dapat kembali tanpa perahu? Atau apakah harapan para pembesar yang iri itu akan terwujud?