Kedua, lanjutnya, teknologi yang digunakan PT Kras sudah kalah bersaing dengan teknologi moderen industri baja yang lebih maju. Penyesuaian atas perkembangan teknologi produksi PT Kras dengan teknologi moderen sesungguhnya sudah diupayakan dengan rencana reformasi sistem produksi baja PT Kras dari Electrical Art Furnace (EAF) menjadi Blast Furnace (BF).
Hanya saja dalam proses perjalanannya terjadi “human error’ akibat skandal mega korupsi yang akhirnya merugikan keuangan negara melalui PT Kras dan mengakibatkan divonisnya beberapa oknum direksi perusahaan baja itu.
Ketiga, pada awalnya kebangkitan PT Kras menjadi optimisme besar ketika perusahaan itu melakukan Joint Venture (JV) dengan perusahan Penanamanan Modal Asing (PMA) Pohang Iron and Steel (Posco Korea) dengan cara mendirikan perusahaan industri baja terpadu dengan nama PT Krakatau Posco (PT KP) yang menggunakan teknologi produksi Blast Furnace (BF).
Adapun tujuan didirikannya perusahaan baja patungan itu adalah untuk mengoptimalkan kebutuhan baja nasional melalui kapasitas produksi 3.000.000 MT per tahun. Tujuan lain adalah untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku Sumber Daya Alam (SDA) dalam negeri.
Namun tujuan itu kandas, diduga karena adanya cengkraman dominasi dan kepentingan ekonomi bisnis dan usaha oknum pebisnis Korea yang mendominasi potensi ekonomi, bisnis dan usaha di PT KP.
Perusahaaan baja patungan itu tidak menghasilkan keuntungan yang sesuai dengan tujuan awal yang diharapkan, malah sejak awal berdirinya PT KP hingga saat ini PT Kras tidak mendapatkan bagi hasil keuntungan dari saham yang dikelola PT KP, padahal hingga saat ini saham PT Kras sudah mencapai 50 persen,.
Selama ini diduga nasionalisme dan kedaulatan ekonomi PT Kras kandas “dijajah” oleh penguasaan para oknum pengusaha Korea, padahal mayoritas orang Korea dimaksud hampir seluruhnya “bukan anak perusahan Posco, dan bukan anak perusahaan PT Kras sebagai pemilik saham baja serta bukan juga anak perusahan PT KP.
Para oknum pengusaha Korea itu diduga sudah meraih keuntungan terlebih dahulu dari penjualan bahan baku pembantu kebutuhan PT KP yang pada kenyataanya sejak awal hingga saat ini masih lebih banyak mengimpor dan kontra produktif dengan rencana awal didirikanya PT KP, yaitu “dalam rangka mengoptimalkan bahan baku yang berasal dari SDA dalam negeri”.
Selain itu ada dugaan mark up yang tidak terkontrol karena disinyalir didesain dengan rapih melalui dugaan konspirasi beberapa oknum pengusaha Korea yang diduga bermain dengan pejabat atau pegawai yang juga asal Korea, dan lagi-lagi PT KP sebagai perusahaan Joint Venture adalah warisan pemerintah masa lalu karena pabrik PT KP berdiri sejak 2011.
“Anthony Budiawan sebaiknya belajar dulu lebih dalam tentang faktor-faktor penyebab kerugian PT Kras agar tidak gagal paham terhadap dinamika perusahan BUMN yang sifat ketergantungannya pada periodisasi pemerintahan dan kekuasaan sangat mempengaruhi pola kondisi dan kelangsungannya,” kata Ketum PB Al-Khairiyah.
Sikap saling menuding serta menyalahkan tidak menjadi solusi, karena yang penting bagaimana menginventarisir persoalan terlebih dahulu secara detail, kemudian dibahas dan diberikan masukan yang baik kepada pemerintah sehingga jalan keluarnya dapat diurai dalam bentuk solusi agar persoalan kondisi PT Kras berangsur pulih.
Menurut Ali Mujahidin, salah satu cara di antara banyak cara memulihkan kondisi PT Kras adalah dengan memposisikan PT Krakatau Posco (PT KP), khusus hanya untuk menangani produksi saja, sedangkan PT Kras fokus dan berkewenangan bertindak sebagai finishing dan packaging produk dan penjualan.
Ke depan, PT Kras tidak perlu memikirkan persoalan teknologi dan resiko produksi, melainkan hanya tinggal bagaimana agar dari penjualan tersebut PT Kras mendapatkan laba/keuntungan. Istilah sederhananya, yaitu “PT KP dapurnya dan PT Kras toko/pedagangnya”.(*)