KABAR LUWUK – Siang itu Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Sinarnya yang terik terasa begitu menyegat. Jam tangan di pergelangan kiri menunjukkan siang itu pukul 13.30 WIB.
Dari kejauhan, terlihat dua pemuda yang mengendarai sepeda motor keluaran pabrikan Jepang melaju dengan kecepatan rendah menuju sebuah lokasi di pinggir pesisir barat Sumatera.
Keduanya berhenti dan memarkirkan sepeda motor matik itu di sebuah batang pohon nan rindang. Keduanya berjalan dengan santai menuju sebuah jembatan kayu yang tampak sudah tidak terawat.
Jembatan kayu itu terlihat lapuk. Bahkan, beberapa lantainya sudah bolong dan menyisakan paku-paku berkarat dengan panjang berukuran sekitar lima hingga tujuh sentimeter. Jika tidak hati-hati, orang yang melintasinya bisa terjerembap atau celaka.
Salah seorang pemuda yang datang menggunakan sepeda motor matik tadi ialah David Hidayat. Bapak satu anak tersebut merupakan lulusan Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta.
Kedatangan David ke lokasi yang hanya berkisar sekitar 20 hingga 30 meter dari bibir pantai itu bukan tanpa alasan. Ia bersama rekannya dan tiga anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar ternyata melakukan sesuatu yang tidak banyak mau dilakukan orang lain.
Di bawah teriknya sinar Matahari, David bersama rekan-rekannya masuk ke rawa-rawa yang digenangi air setinggi 30 sentimeter. Ia tidak sedang mencari ikan, kepiting bakau, atau bermain lumpur. David, si anak Desa Sungai Pinang (Andespin), begitu masyarakat setempat memanggilnya rela berbasah-basah untuk menanam mangrove atau bakau di wilayah pesisir Sungai Pinang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Dengan cekatan dan penuh semangat, pemuda yang juga pelopor “Andespin Dee West Sumatra” tersebut mulai menanami mangrove. Satu per satu bibit mangrove jenis rhizophora apiculata itu ia tanami di rawa-rawa yang rusak akibat abrasi pantai dan faktor ulah tangan manusia.
Cerita perjuangan David si anak desa yang bertekad menyelamatkan ekosistem pesisir dimulai sejak 2009. Kala itu, ia mengaku miris melihat kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggalnya yang rusak akibat kesadaran masyarakat yang masih minim dalam menjaga alam.
Sebelum membereskan permasalahan kerusakan lingkungan di kampung halamannya, David memang lebih banyak berkecimpung di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai, sebagai pegiat lingkungan.
Pada akhirnya, anak nelayan tersebut tersadar bahwa selama ini ia hanya berbuat untuk daerah lain, sementara kondisi lingkungan atau ekosistem pesisir di kampung halamannya sendiri rusak parah.
“Saya tersadar, kenapa tidak berbuat dan menyelamatkan kampung halaman saja,” kata David yang mengenakan topi berwarna abu-abu itu kepada ANTARA.
Di awal perjuangannya, pria kelahiran 28 Agustus 1987 tersebut belum fokus pada penyelamatan hutan bakau. Ia bersama sejumlah anak-anak muda setempat lebih kepada penyelamatan terumbu karang yang rusak parah akibat faktor alam, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan lain sebagainya.
Sebelum David mengampanyekan penyelamatan terumbu karang, masyarakat khususnya nelayan lokal, masih menangkap ikan menggunakan pukat harimau dan alat tangkap lain yang tidak ramah lingkungan.
Imbasnya, cara-cara tersebut merugikan masyarakat, terutama nelayan. Sebab, terumbu karang yang selama ini menjadi rumah atau tempat berkembangbiaknya ikan rusak akibat jangkar kapal. Selain itu, pemanasan global yang terjadi juga memperparah kerusakan terumbu karang (bleaching).
Berangkat dari permasalahan tersebut ia mulai secara perlahan mengajak masyarakat untuk menjaga ekosistem pesisir, salah satunya tidak lagi menggunakan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan.
Perjuangan David bukan tanpa halangan. Di awal-awal pergerakannya, cemoohan, ejekan, hingga beberapa pihak menentangnya secara terang-terangan. Hal-hal negatif yang dialaminya itu bisa dikatakan sudah menjadi “makanan” sehari-hari baginya.
Predikat pejuang dan penyelamat lingkungan agaknya layak disematkan kepada anak pesisir barat itu. Sebab, cacian dan makian justru menjadi senjata dan motivasi baginya untuk terus menyadarkan masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan.
Kala itu, ia masih berstatus sebagai mahasiswa aktif di Universitas Bung Hatta. Langkah awal yang ia lakukan ialah menginvertarisir berbagai permasalahan yang ada di Sungai Pinang, termasuk memetakan apa saja potensi alam yang bisa dimanfaatkan.
Berbekal keterampilan menyelam, David mulai melihat kondisi bawah laut yang rusak parah. Terumbu karang yang seharusnya menjadi ekosistem berbagai biota laut, hanya menyisakan patahan dan memutih.
Pemantauan terumbu karang ia lakukan selama sebulan sekali. Sebab, untuk satu kali menyelam membutuhkan biaya yang cukup besar, misalnya pengisian tabung oksigen, perawatan alat selam, hingga akomodasi kapal.
Selain merawat terumbu karang, David bersama rekan-rekannya juga memungut sampah-sampah yang berada di dasar laut. Bermacam-macam sampah plastik yang ditemukannya merupakan perilaku masyarakat hingga wisatawan yang masih sembarangan membuang sampah hingga bermuara ke laut lepas.
Dia juga membersihkan dan memungut sampah laut agar tidak mencemari lingkungan.
Sejak 2009 hingga kini komunitas yang digerakkannya memang belum bisa mengolah atau mendaur ulang sampah-sampah plastik tersebut. Namun, sampah yang ia bawa ke darat diolah oleh Yayasan Rimba menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Ketika tidak menyelam, David mengisi kekosongan waktunya dengan menanam mangrove, pemberdayaan masyarakat hingga mengedukasi anak-anak pesisir tentang ekosistem laut.
David Hidayat bersama anak-anak pesisir pantai menanam bakau. (ANTARA/Muhammad Zulfikar).
Mengubah kebiasaan
Sejak merintis penyelamatan ekosistem laut, berbagai tantangan dan rintangan kerap dialami David dan kawan-kawan, namun yang paling sulit atau tantangan terberat ialah mengubah pola pikir masyarakat untuk mau menjaga lingkungan pesisir.
Apalagi, mengajak dan mendorong masyarakat yang rata-rata berlatar belakang pendidikan rendah menjadi tantangan tersendiri. Jika ditelisik, penolakan warga cukup beralasan. Sebab, selama ini mereka mungkin masih beranggapan bahwa menangkap ikan dengan pukat harimau dan membuang sampah sembarangan merupakan hal yang biasa dan lumrah. Dengan kata lain, masyarakat belum teredukasi dengan baik.
Untuk jangka pendek, efek dari perilaku buruk tersebut memang tidak dirasakan, namun lama kelamaan sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan, hingga cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan justru mulai dirasakan masyarakat.
Sebagai contoh akibat kerusakan lingkungan itu adalah penurunan hasil tangkapan, abrasi pantai, banjir, lingkungan yang kumuh dan efek buruk lainnya.
Tidak hanya mengedukasi masyarakat tentang ekosistem laut, pria tersebut juga menyadarkan masyarakat tentang dampak buruk dari penebangan pohon secara liar. Maklum saja, di kampung halamannya, Sungai Pinang, sumber daya alam sangat menjanjikan, salah satunya hutan.
Dengan kekayaan alam tadi, tak jarang masyarakat dahulunya masih kerap menebangi pohon-pohon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menyadarkan masyarakat mengenai bahaya dari penebangan liar juga menjadi tantangan bagi David. Di awal-awal ia memberitahu tindakan tersebut salah dan melawan hukum, warga tidak mengacuhkannya.
David tak kehilangan akal. Pada suatu ketika ia berkoordinasi dengan aparat kepolisian agar memperingatkan masyarakat supaya tidak lagi menebangi pohon. Ternyata, cara yang dilakukannya ampuh. Sejak saat itu masyarakat tidak lagi berani menebang pohon sembarangan karena khawatir berurusan dengan polisi.
Berbekal konsistensi dan semangat tadilah hingga akhirnya David berhasil menyakinkan masyarakat setempat bahwa tindakan yang selama ini dilakukan, yakni merusak lingkungan, justru merugikan diri sendiri.
Atas kerja kerasnya menyelamatkan lingkungan, terutama kawasan pesisir, pada 2022 ia dinobatkan sebagai penerima apresiasi bidang lingkungan dari sebuah perusahaan. Baginya, penghargaan tersebut bukanlah akhir dari segala tujuan.
Sebab, David bermimpi untuk menciptakan sebuah laboratorium bawah laut yang bisa dijadikan bagi kalangan mana saja sebagai bahan penelitian. Cita-cita itu tentu saja tidak mudah, jalan panjang dan segudang pekerjaan rumah masih menunggu David dan rekan-rekannya.
Manfaat terumbu karang
Sementara itu, peneliti kelautan dan ekosistem pesisir dari Universitas Bung Hatta Harfiandri Damanhuri mengatakan secara umum kondisi terumbu karang di wilayah pesisir barat Sumatra dalam kondisi cukup baik, terutama setelah adanya penetapan wilayah konservasi oleh pemerintah maupun yang diinisiasi masyarakat (komunitas).
Dampak dari pemanasan global hingga perilaku masyarakat yang tidak peduli terhadap keberlangsungan ekosistem laut, terumbu karang yang awalnya sudah tumbuh dengan baik menjadi rusak, hingga mati.
Sebagai contoh naiknya suhu muka air laut yang turut memengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Pada umumnya kondisi itu mengakibatkan pemutihan (bleaching), hingga matinya terumbu karang.
Bahkan, di luar pantai barat ditemukan terumbu karang mengalami ancaman penyakit. Kendati belum terjadi di wilayah pantai barat, para pemangku kepentingan untuk segera mengantisipasi.
Jadi, perlu semacam penelitian serta antisipasi agar terumbu karang dan ekosistem laut tetap terjaga.
Selain faktor alam, rusaknya ekosistem laut, terutama terumbu karang, juga diakibatkan oleh sampah plastik. Perilaku masyarakat hingga wisatawan di wilayah pesisir yang tak ramah lingkungan menjadi persoalan utama.
Belum lagi sampah-sampah dari limbah rumah tangga yang sengaja dibuang ke sungai dan bermuara ke laut. Selain mengganggu pertumbuhan terumbu karang, sampah plastik juga sulit terurai.
Limbah ini mengakibatkan meningkatnya jumlah alga sehingga menutup muka air. Otomatis mengurangi paparan sinar matahari yang dibutuhkan terumbu karang.
Terdapat beberapa fungsi dari terumbu karang, yakni fungsi biologi, fisik, kimia dan estetika. Pertama, sebagai fungsi biologi, terumbu karang menjadi pusat atau sumber makanan bagi ikan, rumah ikan, dan lainnya.
Artinya, terumbu karang ini menjadi rantai makanan bagi ekosistem laut.
Selanjutnya, secara fisik, terumbu karang dapat menahan atau membantu menstabilkan gelombang air laut, hingga menghasilkan pasir yang bersih. Sebab, lambat laun pecahan karang hingga menjadi halus akan menjadi pasir.
Kemudian, terumbu karang juga dapat diolah menjadi bahan obat-obatan dan produk kosmetik. Terakhir, untuk fungsi estetika, terumbu karang menjadi daya tarik bagi wisatawan, terutama wisata bawah laut (under water).
Dengan besarnya manfaat dan fungsi terumbu karang, semua pihak, termasuk masyarakat, komunitas pecinta alam, dan lainnya, untuk terus menjaga serta melestarikan ekosistem laut.
Apalagi, sebagai negara maritim, kekayaan sumber daya alam bawah laut hendaknya bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat, termasuk sebagai penopang perekonomian. (ANTARA)