Dampak Perubahan Iklim dan Hak Anak Serta Solusi dalam Komunitas Adat
Samsul Maarif, Direktur Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menjelaskan, dampak perubahan iklim bagi masyarakat adat berupa eksplorasi alam untuk ekonomi ekstraktif, yang menciptakan perubahan iklim. Dampaknya pada ketahanan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat. Dalam konteks itu, masyarakat adat, kata dia mengalami peminggiran hingga persekusi.
Solusinya kata Samsul, pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam pengelolaan lingkungan, termasuk agenda dan perumusan kebijakan untuk merespon perubahan iklim. Secara nasional, katanya masyarakat adat akan tetap mampu bertahan dari lajunya perubahan iklim di masa mendatang. Dengan segala kapasitas dan strategi adat semampunya, masyarakat adat terus berjuang untuk bertahan hidup dalam menghadapi perubahan iklim dan pembangunan yang bersifat ekstraktif.
“Mereka akan terus bertahan selama aset adatnya masih ada (komunitas, teritori, dan tradisi). Akan hilang jika aset-asetnya telah diterabas habis oleh pembangunan ekstraktif dan praktik budaya kapitalis antroposentris,” jelas dia.
Ketahanan masyarakat adat tambahnya, bukan hanya tanggung jawab masyarakat adat semata. Negara berdasarkan konstitusi wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Dalam menghadapi perubahan iklim, pemenuhan air dan hak anak, komunitas adat, kata Samsul telah menerapkan sejumlah sistem hidup yang baik. Sistem hidup masyarakat adat yakni rekontekstualisasi relasi manusia dan alam yang merupakan faktor utama bagi keadaan iklim, khususnya pada perubahannya.
Perawatan tanah, hutan atau ulayat adalah praktik bijak berdasarkan pengetahuan dan kearifan empiris dalam merespon iklim yang mencakup potensi dampak positif dan negatif. Perawatan ulayat mencakup memproduksi apa yang akan dikonsumsi, menanam yang ingin dimakan, atau tidak mengeksploitasi tanah untuk semata pemenuhan kebutuhan manusia yang tiada ujungnya sehingga selalu tanpa batas.
“Perawatan ulayat tentu saja mencakup air yang bisa bertahan (kebutuhan air dapat terpenuhi) jika ekosistemnya (ulayat) terawat,” kata dia.
Hak anak bagi masyarakat adat menurut Samsul mewarisi ruang hidup. Menghilangkan hutan sama artinya dengan melanggar hak anak. Itu termasuk memporak-porandakan sistem adat melanggar hak anak atas identitas dan komunitasnya.
Hak anak tersebut kental kaitannya dengan perubahan iklim. Hak anak adat telah terlanggar sejak eksplorasi alam yang tidak peduli pada ekosistem hidup. Dia mengkritik pemerintah melalui berbagai kebijakan yang tidak melibatkan komunitas adat, abai mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman adat, dan tidak menghormati eksistensi komunitas serta identitas mereka.
Menurutnya, ada banyak hak anak dalam komunitas yang terabaikan. Menghormati komunitas adat belum otomatis memenuhi hak anak adat. Tetapi jika melanggar hak komunitas adat, maka negara otomatis melanggar hak anak adat.
Masalah di atas katanya adalah bagian krusial dalam isu perubahan iklim bagi masyarakat adat yang hingga kini terus terjadi dan sering diabaikan. Dampak paling ekstrem yang dialami oleh anak-anak penghayat kepercayaan ketika hutan mereka habis, kata Samsul sangatlah besar. Hutan bagi penghayat dan masyarakat adat adalah ruang hidup dan bagian dari religiusitas. Tanpa hutan, ruang hidup mereka menghilang dan praktek religiusitas terhambat. Deforestasi bagi penghayat kepercayaan merupakan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yakni hak hidup dan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Disclaimer : Liputan ini didukung oleh UNICEF dan AJI Indonesia.