BanggaiKABAR DAERAH

Hutan Banggai Hilang, Anak Masyarakat Adat Kahumamahon Kekurangan Gizi

1119
×

Hutan Banggai Hilang, Anak Masyarakat Adat Kahumamahon Kekurangan Gizi

Sebarkan artikel ini

Perlindungan komunitas adat Kahumamahon

Awal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah menyebutkan dampak perubahan iklim terhadap masyarakat adat paling terlihat yakni kehilangan sumber daya alam contohnya kerusakan hutan, tanah longsor, dan kekeringan. Situasi itu berpengaruh pada mata pencaharian komunitas adat seperti sumber pertanian, perikanan (pesisir), hutan sebagai sumber pendapatan (pengelolaan hasil hutan non kayu, atau berburu sumber protein, makanan tambahan).
Perubahan iklim berdasarkan catatan AMAN Sulteng juga mengancam kebudayaan dan tradisi. Alam katanya erat hubungannya dengan masyarakat adat atas pengetahuan tradisional yang dipraktekan secara turun-temurun dari leluhur atas lingkungan alam sekitarnya. Dampak perubahan iklim menyebabkan kerusakan lingkungan.

Berdasarkan data AMAN Sulteng, krisis iklim dalam dua tahun terakhir ditandai dengan meningkatnya suhu bumi yang menyebabkan cuaca ekstrem tak menentu yang berdampak pada hasil pertanian dan hasil buruan. Hal itu berdampak pada perekonomian yaitu tidak adanya kepastian harga karena nilai jual beli pasar terus berubah berimbas pada produk hasil pertanian, perkebunan, perikanan masyarakat adat. Hasil produk komunitas dihargai rendah saat dijual sementara daya beli sejumlah kebutuhan seperti beras, minyak kelapa, gula dan garam cenderung lebih tinggi.

Hampir setengah luasan desa telah ditanami perkebunan sawit. (foto : kabarluwuk)

“Meningkatnya aktivitas izin tambang dan perkebunan di wilayah adat sangat krusial, berdampak pada kesehatan masyarakat adat. Ini menjadi masalah dan ancaman besar bagi komunitas adat.” kata Awal.

AMAN Sulteng menilai keberadaan perkebunan sawit yang ada di wilayah masyarakat adat sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek mulai kesehatan, ruang lingkup pertanian dan perburuan berkurang sehingganya AMAN Sulteng menolak perkebunan sawit karena mengganggu sumber daya alam. AMAN menyerukan untuk melawan dan menghentikan aktivitas perusahaan sawit di wilayah adat.
Menurut dia, dalam komunitas adat, peran anak, pemuda serta perempuan sangat krusial dalam melanjutkan tongkat estafet menjaga budaya dan keberlangsungan komunitas. Para tetua komunitas akan mengajarkan bagaimana alam memberikan tanda akan adanya perubahan serta bencana yang bisa diminimalisir dampaknya.

Awal menjelaskan anak, pemuda atau perempuan adat sebagai generasi yang melanjutkan tongkat estafet penyambung ketahanan benteng pondasi adat di lingkungan tidak lepas peran orangtua dan sesepuh adat sekitarnya untuk memberikan pemahaman bagaimana pentingnya dampak perubahan iklim. Negara, katanya harus hadir memastikan kepastian hukum perlindungan dan pengakuan hak hak masyarakat adat. Karena selama ini yang melindungi alam sebagian besar adalah masyarakat adat.

AMAN, katanya memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat terkait perubahan iklim, air dan hak anak dengan cara memastikan rancangan undang-undang negara Republik Indonesia atas pengakuan dan perlindungan hak hak masyarakat adat atas alamnya.

“Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat atas lingkungan dan wilayah, serta hutan adat sampai saat ini belum ada. Regulasi tersebut erat kaitannya atas iklim, air atau sumber daya alam untuk diwariskan generasi ke generasi,” ujar Awal.

Sayangnya komunitas adat Kahumamahon Banggai sampai saat ini belum masuk dalam pendataan anggota AMAN Sulteng. Belum masuknya komunitas adat ini karena belum didaftarkan oleh ketua komunitas (kepala suku) maupun pemerintah setempat. Dampaknya, secara organisasi kata Awal, AMAN kesulitan mengidentifikasi kasus yang terjadi di komunitas adat Kahumamahon. AMAN belum menjangkau masyarakat adat itu untuk advokasi. Kendati demikian, dalam waktu dekat ini pengurus AMAN Sulteng akan melakukan proses pendataan dengan harapan dapat melakukan pendampingan termasuk didalamnya upaya-upaya advokasi.

Aris dari Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan, meluasnya investasi berbasis lahan seperti kelapa sawit, pertambangan dan kehutanan menyumbang krisis iklim.

Data tersebut tidak spesifik menjelaskan penyebab dampak banjir. Tetapi, umumnya bencana banjir selalu berkaitan atau diawali dengan kerusakan ekosistem suatu kawasan yang berfungsi menjadi daerah resapan air atau water catchment area, diubah menjadi peruntukan lain, seperti pertambangan, perkebunan dan lainnya.

Tantangan yang dihadapi masyarakat adat Kahumamahon dalam menghadapi perubahan iklim sangat kompleks, mulai dari akses kesehatan yang terbatas, tingginya angka stunting, hingga ancaman deforestas, dan ekspansi industri. Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, kata dia harus menjadi prioritas, termasuk pengakuan atas tanah dan sumber daya yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.

Keberlanjutan komunitas adat Kahumamahon tidak hanya bergantung pada upaya mitigasi perubahan iklim dan penurunan angka stunting, tetapi juga pada perlindungan budaya dan tradisi mereka. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk memastikan keberlanjutan hidup dan kesejahteraan masyarakat adat di Kabupaten Banggai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *