Cerita Hidup Nomaden di Pegunungan Molontobe
Tuloi, 80, bersama istrinya Dawiah, 70, merupakan sesepuh komunitas adat Kahumamahon di Dusun Tombiobong yang ikut program pemerintah meninggalkan kehidupan nomaden. Semula mereka hidup berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya di belantara Kabupaten Banggai, mengikuti kebiasaan sejak zaman nenek moyang mereka seperti beberapa komunitas lain.
Tuloi mengatakan wilayah asal masyarakat Kahumamahon berada di Molontobe yang membutuhkan perjalanan seharian dari Dusun Tombiobong. Mereka menyebar di sekitar pegunungan Molontobe untuk bercocok tanam dengan cara nomaden. Cara bercocok tanam itu, katanya sebagian masih dipelihara, namun sebagian lagi telah memiliki lahan pertanian yang tidak jauh dari Dusun Tombiobong.
Sumber pangan masyarakat adat Kahumamahon sejak dahulu berupa padi, Singkong dan Ketela Rambat serta sumber protein hewani yang diperoleh dari hasil perburuan serta memasang perangkap hewan air. Hingga kini bahan pangan itu tetap menjadi sandaran kehidupan masyarakat adat.
Gempuran perkebunan sawit dan dampak perubahan iklim membuat areal tanam dan wilayah perburuan mereka semakin sempit. Dampaknya, hasil panen dan buruan yang semakin sedikit.
Dahulu, dalam sekali berburu atau tiga hari di hutan, mereka memperoleh lima sampai tujuh ekor babi dan satu rusa. Kini, dalam sekali berburu mereka hanya bisa mendapatkan dua ekor babi. Perburuan komunitas adat kata Tuloi, melalui kelompok. Enam sampai tujuh pria dewasa bergabung dan hasil buruan dibagi merata.
Wilayah tanam dan perburuan sumber protein masyarakat adat suku Kahumamahon, kata Tuloi ada di wilayah Henehene, Popisi, Tobelombang, Batu Sampuun dan Santoa. Jarak tempuh ke tempat berburu ini bisa berhari-hari dari rumah tinggal mereka saat ini.
“Dahulu kami ikut orang tua menanam di wilayah yang berbeda-beda, hampir setiap bulan kami berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya untuk menanam padi, singkong dan ketela rambat. Hingga pada periode tertentu kami akan kembali ke tempat semula untuk memanen hasil tanam di awal. Begitu seterusnya dan menjadi rutinitas kami memenuhi panganpangan, ” kata sesepuh Kahumamahon ini.
Menurut Tuloi, sejak kecil orang tua mereka telah mengajarkan bagaimana mereka hidup saling menjaga alam dan manusia. Hal itu kemudian diturunkan kepada anaknya dengan harapan kelak tetap dapat menjaga alam sebagai tempat lahir dan mati mereka.
“Kami sejak kecil telah diajarkan bagaimana cara menghargai alam, salah satunya dengan tidak merusak lingkungan serta mengambil apa yang disediakan alam secukupnya,” ujar Tuloi yang tetap kuat bertani di usia senjanya ini.
Senada, Dawiah menyebutkan sejak kecil perempuan dalam komunitas telah diajarkan untuk bisa menjalani hidup bergantung pada alam. Jika para lelaki dibebankan mencari dan memenuhi pangan serta memberikan perlindungan, maka kaum perempuan harus bisa dan pandai merawat keluarga dalam mengolah hasil pertanian. Termasuk dalam hal mengolah tanaman menjadi obat-obat tradisional.
Mereka juga sejak kecil telah diajarkan membuat sejumlah kerajinan membuat atap dari rumbia dan gerabah yang dapat digunakan sebagai perlindungan dan alat memasak. Pria paruh baya ini mengingat bagaimana kehidupan masyarakat adat mereka dulu begitu lekat dengan alam. Mereka hidup berpindah-pindah, bergantung pada hasil hutan dan pertanian tradisional. Namun, zaman berubah, dan tantangan hidup pun semakin kompleks terutama bagi generasi seperti Bulan, yang sejak lahir harus berjuang melawan stunting akibat keterbatasan ekonomi dan sulitnya mendapatkan pangan.
Saat ini komunitas adat Kahumamahon kata Tuloi menghadapi tantangan besar dalam perubahan iklim serta adanya diskriminasi dalam mempertahankan wilayah komunitas adat. Lahan pertanian maupun wilayah perburuan semakin menyempit. Penyebabnya karena lajunya perluasan perkebunan kelapa sawit yang terus menggerus wilayah komunitas adat.
“Kami bisa apa, dokumen administrasi tanah saja kami tidak punya. Lalu bagaimana melawan perkebunan yang selalu mendapatkan perlindungan pemerintah,” kata Tuloi sembari tersenyum kecut.