“Selamat Hari Tani Nasional: Kapolda Sulteng, Hentikan Kriminalisasi Terhadap Petani”
KABAR LUWUK, PALU – Semangat penyambutan Hari Tani Nasional 2021 tepat hari ini 24 September 2021 di
semarakkan oleh seluruh petani di Indonesia. Petani di berbagai daerah di Indonesia memilih untuk turun ke jalan
melakukan aksi protes atas kehidupan petani yang kian hari makin terhimpit oleh keberadaan para perusahaan-
perusahaan skala besar yang menguasai mayoritas lahan di Indonesia. Jumat 24/9/2021.
Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng, Eva Bande mengatakan bahwa Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 merupakan bentuk formil regulasi yang mempunyai semangat redistribusi lahan dari penguasaan lahan oleh tuan-tuan tanah, namun dalam prakteknya Undang-undang ini takluk dihadapan para perusahaan-perusahaan skala besar. Wujud nyata dari krisis Agraria di Indonesia adalah tidak dijalankannya reforma agrarian yang merupakan mandat dari konstitusi pasal 33 UUD 1945, TAP MPR No. IX/2001 dan UUPA 1960, hal tersebut membawa Indonesia berada dalam jurang krisis agraria
yang sangat Kronis.Terangnya.
Di Indonesia telah terjadi penguasaan tanah secara timpang oleh minoritas rakyat Indonesia, 68% tanah di Indonesia dikuasai oleh 1% penduduk, sementara 16,2 Juta petani hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar.
Dari tahun ke tahun terjadi perubahan secara besar-besaraan konversi tanah, 650.000 hektar tanah pertanian setiap tahunnya telah terkonversi menjadi Kawasan industri, infrastruktur dan Kawasan bisnis.
Konflik agraria meledak dari tahun 2015 – 2020 akibat akumulasi perampasan tanah baru dengan konflik-konflik
agraria lama yang tidak kunjung diselesaikan. Para pejuang agraria di Indonesia semakin rawan menghadapi
intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi dalam memperjuangkan hak atas tanah masyarakat.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015 – 2020 terjadi 2.288 ledakan konflik agrarian, mengakibatkan 1.437 orang di kriminalisasi, 776 dianiaya, 75 tertembak, 66 tewas di wilayah konflik agrarian.
Sulawesi Tengah menjadi salah satu daerah yang hari ini eskalasi konflik agrarian makin meningkat. Konsekuensi dari masuknya industri pertambangan maupun perkebunan sawit mengakibatan konflik-konflik di desa-desa makin mengakar.
Belum lama petani asal Batui Banggai datang menghadap Gubernur Sulteng meminta perlindungan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polres Banggai terhadap beberapa petani di Batui.
Belum lama pula masyarakat asal Petasia Timur di tahan oleh Polres Morowali Utara setelah di laporkan oleh PT Agro Nusa
Abadi.
Dan hari ini terdapat petani asal Kabupaten Buol yang di tahan di Polres Buol karena berkonflik dengan perusahaan PT Hardaya Inti Plantation.
Sejak Kapolda Sulawesi Tengah yang baru menjabat, penetapan tersangka dan penangkapan-penangkapan
terhadap petani jumlahnya makin meningkat.
Mengapa demikian? Mengapa pihak kepolisian daerah Sulteng
mengabaikan surat telegram Kapolri yang secara esensial mejelaskan bahwa penyelesaian kasus konflik agraria
di Indonesia harus diselesaikan dengan cara-cara mediasi yang damai?
“Kami Front Advokasi Sawit (FRAS) yang tergabung dari beberapa organisasi masyarakat sipil menyerukan dan
menyetakan sikap secara tegas; mengutuk cara-cara represi, intimidasi serta kriminalisasi kepada petani.” Ungkap Eva Bande.
Hentikan perampasan lahan petani dan pidanakan perusahaan yang merampas tanah-tanah petani.Kepada pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Tengah, kami juga menyerukan segera membentuk
tim penyelesaian konflik agraria yang independen di Sulawesi Tengah.
Sekian. Tutup Eva Bande