KABAR LUWUK, BANGGAI – Kue kue kue, kanjoli, lalampa, gabin, puding teriakan seorang anak memecah kesunyian sore di salah satu kos yang ada di Kelurahan Hanga-Hanga, Kecamatan Luwuk. Sontak saja teriakannya membangunkan sebagian penghuni kos yang tertidur pasca pulang kerja. Beberapa penghuni kos termasuk saya kemudian memanggilnya untuk membeli sekaligus mencicipi kuenya yang terbilang enak.
Setelah melayani sejumlah pembeli di kos itu, Muhammad Rivaldy Gunawan bocah berusia sekira 12 tahun yang duduk dibangku sekolah dasar kelas VI ini menghampiriku. Ia memang menjadi langgananku, kue buatan orangtuanya itu terbilang enak, terutama kanjoli panganan yang terbuat dari parutan singkong yang digoreng dan di dalamnya berisi ikan sangat pas menemani secangkir kopi menanti senja berlalu.

Mau beli kue apa om katanya ramah kepadaku, sejenak aku perhatikan tidak ada yang berbeda dari tampilan Rivaldy sapaan akrabnya. Berpakaian rapih serta penuh sopan santun merupakan tampilan bocah di SDN V Luwuk ini. Masker berwarna hitam terus melekat menutupi hidung dan mulutnya sebagai salah satu upaya proteksi agar terhindar dari paparan dan memaparkan virus corona.
“Saya beli Kanjoli sepuluh dan Lalampa lima, berapa semuanya,” kataku pada Rivaldy.
Tanpa berfikir lama, bocah berkulit cokelat ini menyebut harga satuan kanjoli seribu dan untuk harga lalampa (panganan berupa nasi berisi ikan yang dibungkus daun pisang lalu dibakar) satuannya dua ribu rupiah. Sehingga harga total kue yang saya beli pada hari itu sebesar dua puluh ribu rupiah.
Kaos tangan plastik bersama penjepit digunakannya mengambil kue pesananku, dengan begitu bisa dipastikan kue pesanan saya steril dari kontaminasi tangan langsung. Dengan cekatan seluruh kue pesanan berpindah dari dua boks yang dijinjingnya ke atas piring yang sedari tadi aku sodorkan padanya.
Diakui Rivaldy, hampir setiap hari ia menjajakan kue buatan orangtuanya itu. Tentu saja semua dilakukan sepulang sekolah dan setelah pekerjaan sekolah beres. Sebelum tinggal di Kelurahan Hanga-Hanga, ia bersama orangtuanya tinggal di Tanjung Sari, Kelurahan Karaton. Entah apa sebab kepindahan mereka ke Hanga-Hanga apa karena rumah mereka ikut tergusur sewaktu ada sengketa tanah di sana, pastinya Rivaldy tidak menceritakannya.
Saat tinggal di Tanjung jarak rumah ke sekolahnya hanya sekira satu kilo meter dan medannya datar sehingga setiap hari, Ia bersama kawan-kawannya bisa berjalan kaki pergi pulang. Namun setelah berpindah tempat tinggal, hampir setiap hari dirinya diantar ibunya menggunakan motor.
“Kalau ke sekolah sekarang selalu diantar mama naik motor begitu juga pulangnya pasti dijemput,” ucap Rivaldy dengan polos.
Sebelumnya kata Rivaldy sekolahnya memberlakukan pembelajaran online, namun begitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Kabupaten Banggai berada pada level III maka sekolahnya kemudian menerapkan Pembelajaran Tata Muka Terbatas (PTMT). Hal itu tentu saja disambutnya dengan gembira karena sudah cukup lama, Ia tidak bertemu guru dan kawan sekolahnya.
“Pastinya senang bisa sekolah kembali, untuk saya sekolahnya hanya pada hari Senin, Rabu dan Sabtu. Jam belajarnya dimulai pukul 07.50 wita sampai pukul 10.30 wita. Hanya setengah mudir kelas saja setiap jam belajarnya. Besok gantian teman kelas yang masuk sekolah,” tambah Rivaldy.
Menurut putra dari Aang dan Susi ini setiap saat orangtuanya terus mengingatkan agar senantiasa menggunakan masker dan sebisa mungkin menjaga jarak baik saat berada di sekolah maupun berjualan kue.
“Saya dimarah mama kalau tidak pake masker, kata mama dimana saja saya berada harus pakai masker,” jelas bocah yang sebentar lagi akan duduk dibangku SMP ini.
Biasanya Rivaldy berjualan kue sampai ke wilayah Kelurahan Jole hal itu dilakukan untuk menghabiskan kue jualannya. Tentu saja dengan berjalan kaki yang jika diukur langkahnya dalam sehari berjualan kue bisa mencapai sepuluh kilo meter.
Jika bernasib baik dalam waktu singkat seluruh kue yang dijualnya akan habis, harga keseluruhan kue jualannya itu berkisar empat ratus ribuan. Setelah seluruh kue jualannya habis tentu saja bocah periang ini kelelahan dan memilih pulang menggunakan jasa ojek.
Setelah cukup lama berbincang, aku serahkan sedikit uang dan masker padanya sembari mendoakannya sukses di masa depan. Dalam batin aku berucap nasib kita sama Rivaldy, apa yang kamu lakukan saat ini telah aku jalani tiga puluh lima tahun silam. (IKB)