Penulis: Dzaky Herry Marino
KABAR LUWUK – Dalam masyarakat Minangkabau, warisan bukan hanya tentang tanah, rumah, atau benda berharga. Ia adalah simbol harga diri, kesinambungan adat, dan bukti eksistensi kaum di tengah perubahan zaman. Karena itu, dalam adat Minang dikenal istilah pusako tinggi, harta yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang, dan dijaga sebagai lambang kehormatan keluarga.
Warisan yang Tak Ternilai
Pusako tinggi diwariskan melalui garis ibu (matrilineal), dari mamak (paman dari pihak ibu) kepada kemenakan. Tanah ulayat, sawah, ladang, rumah gadang, hingga benda pusaka seperti keris atau pakaian penghulu termasuk ke dalam kategori ini. Nilainya tidak diukur dari berapa hektar luasnya atau seberapa mahal harganya, melainkan dari seberapa dalam makna yang dikandungnya.
Harta pusaka ini tidak boleh diperjualbelikan. “Kalau pusako tinggi dijual, sama artinya menjual marwah suku,” begitu kata salah satu ninik mamak di Tanah Datar. Kalimat itu menggambarkan betapa eratnya hubungan antara harta dan identitas dalam budaya Minangkabau.
Simbol Keberlanjutan Adat
Pusako tinggi bukan hanya soal kepemilikan, tetapi juga tanggung jawab. Ia menuntut generasi penerus untuk menjaga, merawat, dan mempertahankan hubungan dengan tanah leluhur. Dalam pandangan adat, orang yang kehilangan pusaka tinggi dianggap kehilangan akar budaya dan arah hidupnya.
Pepatah Minang mengatakan, “Pusako tinggi indak dapek dijua, indak dapek digadai, indak dapek dipindah tangan.” Artinya, harta pusaka tinggi bukanlah benda dagangan, melainkan lambang keberlangsungan adat yang diwariskan untuk kesejahteraan kaum.
Makna Sosial dan Spiritualitas
Lebih dari itu, pusako tinggi juga sarat dengan makna spiritual. Ia mengingatkan masyarakat bahwa kehidupan bukan hanya tentang milik pribadi, melainkan tentang kebersamaan. Dalam setiap pusaka tersimpan doa dan harapan leluhur agar keturunan mereka tidak tercerabut dari akar adatnya.
Maka, menjaga pusako tinggi bukan hanya tugas ninik mamak, tetapi seluruh anggota kaum. Di situlah filosofi “duduak samo randah, tagak samo tinggi” menemukan maknanya bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab setara dalam menjaga warisan leluhur.