KABAR OPINI

Nikel Banggai, Antara Fakta Pelanggaran dan Gosip Izin

330
×

Nikel Banggai, Antara Fakta Pelanggaran dan Gosip Izin

Sebarkan artikel ini

Oleh: Supriadi Lawani*

Beberapa minggu terakhir, Kabupaten Banggai kembali diramaikan isu tambang nikel di Kecamatan Pagimana, tepatnya di Desa Siuna. Komisi II DPRD Banggai menemukan adanya fakta dugaan pelanggaran oleh sejumlah perusahaan tambang: hancurnya ekosistem mangrove dan penggunaan jalan pemerintah oleh korporasi. Fakta ini, secara kasat mata, sebetulnya sulit disangkal. Namun alih-alih bertindak cepat dengan melaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau ke aparat penegak hukum, pemerintah daerah justru membentuk tim investigasi.

Pertanyaannya: investigasi apa lagi yang diperlukan, ketika aturan hukum sudah terang benderang? Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas melarang kegiatan yang merusak ekosistem mangrove. Pasal 35 huruf k menyebut larangan eksplisit, sementara Pasal 73 mengancam pelanggar dengan pidana 10 tahun dan denda Rp10 miliar.

Kesan mengulur waktu dengan membentuk tim bukan hanya menunjukkan keragu-raguan, melainkan juga menimbulkan tanda tanya: apakah ada kepentingan lain yang sedang bermain?

Isu kian panas ketika beredar gosip soal jual beli IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Banggai. Seorang teman bahkan menawarkan IUP di beberapa titik. Cerita lain menyebutkan adanya “orang kuat” dan elite lokal yang tengah sibuk mengurus take over IUP. Tentu gosip tetaplah gosip. Namun, dalam politik sumber daya, gosip sering menjadi petunjuk arah: siapa menguasai tambang, dialah yang berkuasa.

Dalam konteks ini, publik patut bertanya: benarkah ada hubungan antara dugaan pelanggaran hukum di Siuna dengan manuver penguasaan IUP nikel? Mengapa Pemda terkesan lamban dalam mendorong penegakan hukum, meski DPRD sudah memberi rekomendasi?

Jika benar ada pelanggaran, penegakan hukum semestinya menjadi jalan utama. Laporan ke KLHK dan kepolisian adalah langkah paling logis. Tapi jika kasus ini dibiarkan menggantung, masyarakat hanya bisa membaca satu makna: pemerintah daerah gamang menghadapi kepentingan elite.

Di titik inilah peran Komisi II DPRD menjadi krusial. Jika Pemda terkesan lambat, komisi yang sejak awal lantang bersuara bak aktivis lingkungan itu bisa melangkah lebih jauh: melaporkan langsung persoalan ini ke aparat penegak hukum. Jika tidak, gosip soal take over IUP yang selama ini beredar justru akan menemukan faktanya.

Pada akhirnya, publik Banggai hanya bisa menunggu—apakah Pemda serius menindak perusahaan nakal, atau sekadar mengulur waktu demi memberi ruang bagi transaksi politik-ekonomi di balik layar.

Sementara itu, mangrove tetap hancur, jalan desa rusak, dan rakyat menanggung akibatnya.

Luwuk 19/82025

*Penulis adalah petani pisang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *