KABAR OPINI

Menyelami Filosofi Juadah: Dari Dapur Tradisional ke Simbol Kasih dalam Adat Minang

50
×

Menyelami Filosofi Juadah: Dari Dapur Tradisional ke Simbol Kasih dalam Adat Minang

Sebarkan artikel ini

Penulis: Muhammad Fawzan

KABAR LUWUK – Tak ada sajian yang lebih indah dalam adat Minangkabau selain Juadah, tumpukan kue tradisional yang dibawa dengan penuh hormat oleh keluarga pengantin perempuan saat manjalang mintuo.
Di balik aroma santan dan gula merahnya, Juadah menyimpan makna cinta, doa, dan penghormatan antar keluarga yang bersatu lewat pernikahan.

Sajian yang Menyatukan Dua Keluarga

Dalam tradisi manjalang mintuo, keluarga pengantin perempuan membawa Juadah ke rumah pihak laki-laki.
Bukan sebagai oleh-oleh, melainkan tanda kasih, rasa hormat, dan doa agar rumah tangga anak mereka diberkahi. “Kalau belum ada Juadah, belum sah rasanya manjalang mintuo,” kata Bu Rahmah, bundo kanduang di Pesisir Selatan.

Makanan ini disusun menyerupai atap surau, tegak dan runcing, menandakan hubungan manusia dengan Tuhan, serta harapan agar kehidupan rumah tangga selalu dilindungi oleh-Nya.

Tujuh Kue, Tujuh Doa

Setiap lapisan Juadah memiliki filosofi tersendiri:

  1. Simanih (wajik): simbol manisnya kebersamaan dan rekatnya hubungan.
  2. Sangko: pengingat bahwa hidup harus sederhana namun berarti.
  3. Kanji (dodol): kenyal, melambangkan keteguhan dan daya tahan.
  4. Jalabio: gurih, tanda semangat dan keceriaan dalam keluarga.
  5. Kipang ampiang: renyah, lambang keluwesan dalam hidup bersama.
  6. Ambuik-ambuik: unik dan harum, menggambarkan keindahan perbedaan.
  7. Pinyaram: bundar sempurna, penanda puncak cinta dan keharmonisan.

Susunan tujuh ini bukan kebetulan, angka tujuh dalam adat Minang sering dikaitkan dengan kesempurnaan dan keberkahan.

Filosofi Kesabaran dan Gotong Royong

Proses pembuatan Juadah tidak bisa dilakukan sendirian.
Ia adalah kerja kolektif yang melibatkan seluruh anggota keluarga.
Sementara yang tua mengaduk dodol, yang muda menyiapkan bahan dan menyalakan tungku.
Inilah gotong royong dalam bentuk paling manis.

Proses panjang ini bukan hanya pekerjaan dapur, tapi juga ritual yang mengajarkan kebersamaan dan tanggung jawab antar generasi. Setiap adonan yang diaduk adalah doa, setiap tawa di dapur adalah pengikat kasih.

Dari Tradisi ke Identitas

Meskipun zaman berubah, Juadah tetap hadir dalam setiap prosesi adat besar.
Kini, di beberapa nagari, pembuat Juadah bahkan dijadikan profesi tersendiri, mereka disebut urang pandai juadah, orang yang dipercaya menjaga cita rasa dan makna leluhur.

Keberadaan Juadah menegaskan satu hal, dalam budaya Minangkabau, makanan bukan sekadar santapan, melainkan bahasa cinta dan simbol adat yang hidup. Ia adalah cara masyarakat Minang menjaga kehalusan budi, menegakkan penghormatan, dan mempererat hubungan antar keluarga.

Karena bagi orang Minang, rasa manis sejati tak hanya ada di lidah, tapi juga di hati yang tulus memberi dan menerima.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *