KABAR LUWUK, BANGKEP – Sejak kemerdekaan pers berlaku 17 tahun silam, pelaksanaannya sering diselewengkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyeleengan itu di antarnaya seperti investor dengan modal tidak memadai yang membuat media dengan mencatut nama institusi tertentu, merekrut wartawan tanpa memperoleh hak normatif, serta melegalkan tindakan negatif yang bertentangan dengan kode etik wartawan maupun hukum normatif. Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyatakan, banyak label media yang mirip maupun persis dengan lembaga negara seperti BIN dam KPK. Selain menyalahi aturan penggunaan nama lembaga negara untuk keperluan komersial, tindakan itu bertendensi negatif. ”Orang yang mengidentifikasi dirinya wartawan media KPK misalnya, datang ke sekolah tertentu, menanyakan dana bantuan operasional sekolah. ’Wartawan’ bersangkutan mengenalkan diri dari KPK, kepala sekolah berpikir yang mendatanginya penyidik KPK, maka responsnya ketakutan,” kata dia dalam Jambore Media dan Public Relation Indonesia di Yogyakarta, 4-6 Oktober 2016. Menurut dia, perusahaan media dan lainnya yang bukan penyelenggara negara dilarang menggunakan nama dan lambang lembaga negara untuk kepentingan di luar institusi tersebut. Apabila tindakan ”mencaplok” lambang dan nama institusi negara untuk kepentingan yang tidak semestinya tetap dilakukan pemilik media, masalah itu bukan urusan Dewan Pers dan organisasi kewartawanan lagi melainkan urusan penegak hukum. Dewan Pers, dalam kasus tersebut, melakukan pencegahan dan menindaklanjuti laporan masyarakat yang menjadi korban ke pihak terkait. Pencegahan dilakukan dengan strategi verifikasi perusahaan pers. Sampai 2015, dari 2.000 perusahaan media cetak, jumlah yang memenuhi standar perusahaan pers nasional adalah 547 media. Menurutnya, verifikasi penting untuk menjamin perusahaan pers yang dipasarkan ke publik telah memenuhi standar perusahaan pers dan persyaratan lainnya yang berkaitan dengan aktivitas bisnis media dan kegiatan jurnalistik sesusai dengan kode etik jurnalistik. Langkah Dewan Pers lainnya adalah melakukan uji kompetensi wartawan. Dari sekitar 80 ribu wartawan yang bekerja di media massa, terdapat 10 ribu yang lulus uji kompetensi. Uji kompetensi menjadi jaminan profesionalitas kerja jurnalis. Soal ancaman kebebasan pers lainnya, menurut dia, hal itu juga berasal dari pemilik media. ”Pemilik media tertentu menjadikan medianya sebagai sarana mengakses politik, membuat partai, atau menempatkan orang untuk mengakses regulator di lembaga pemerintah dan lainnya,” katanya. Ancaman kebebasan pers berikutnya datang dari massa atau pihak yang berbeda pandangan dengan melampiaskasn amarahnya secara destruktif kepada lembaga media. (sumber : Pikiran Rakyat)