Penulis : Nadjamuddin Mointang (Analis Kebijakan)
KABAR LUWUK – Kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang membatasi penjualan beras keluar wilayah melalui surat edaran menuai sorotan. Langkah tersebut dinilai lemah secara hukum karena surat edaran bukan merupakan peraturan yang memiliki kekuatan mengikat bagi masyarakat.
Analis Kebijakan menilai, surat edaran hanya bersifat imbauan dan tidak dapat dijadikan dasar untuk membatasi aktivitas perdagangan, apalagi yang menyangkut distribusi antar daerah. Jika diterapkan tanpa dasar peraturan yang jelas, kebijakan semacam ini berpotensi melanggar prinsip perdagangan bebas antar wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Di sisi lain, kalangan petani juga menilai pembatasan tersebut dapat menurunkan pendapatan karena membatasi akses pasar dan menekan harga gabah di tingkat lokal.
Para pakar mendorong pemerintah daerah agar mengedepankan koordinasi dengan Badan Pangan Nasional dan Bulog dalam menjaga ketersediaan stok, ketimbang menerbitkan surat edaran yang lemah secara yuridis dan berisiko menimbulkan keresahan ekonomi. Sehingga timbul pertanyaan sebagai berikut:
Apakah pemerintah daerah berhak melarang penjualan beras keluar daerah? Secara hukum, tidak sepenuhnya berhak.
Kewenangan perdagangan antar daerah (antarprovinsi/kabupaten) termasuk dalam urusan perdagangan antarwilayah, yang merupakan urusan pemerintah pusat (mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan).
Pemerintah daerah tidak boleh secara sepihak membuat kebijakan yang melarang distribusi atau ekspor keluar daerah, karena itu termasuk pembatasan perdagangan yang dapat mengganggu mekanisme pasar nasional.
Kecuali, larangan itu bersifat sementara dan darurat, misalnya:
Ada ancaman krisis pangan lokal.
Berdasarkan rekomendasi resmi dari Bulog, Bapanas, atau Kementerian terkait.
Dan dilakukan melalui koordinasi dengan Pemerintah Pusat.
Jika dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, kebijakan semacam itu bisa bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang bersifat koordinatif, bukan protektif.
Apa dampaknya terhadap pendapatan petani? Cenderung negatif.
Harga beras di luar daerah seringkali lebih tinggi karena permintaan lebih besar. Larangan menjual keluar daerah akan:
Menurunkan daya tawar petani.
Membatasi pasar dan akses harga lebih baik.
Berpotensi menimbulkan over supply lokal, sehingga harga turun di tingkat petani.
Sementara itu, pihak-pihak lain seperti pedagang lokal atau tengkulak justru bisa diuntungkan, karena mereka membeli dengan harga rendah.
Kesimpulan: Petani rugi, pasar tidak efisien, dan distribusi ekonomi menjadi timpang.
Apakah ini langkah bijak? Tidak bijak jika tanpa analisis stok pangan dan koordinasi lintas wilayah.
Namun bisa dianggap bijak secara terbatas, bila:
Ada darurat ketersediaan pangan lokal.
Tujuannya melindungi pasokan masyarakat daerah sendiri.
Dibarengi intervensi harga dan penyerapan hasil panen petani oleh pemerintah (misalnya lewat Bulog daerah).
Tanpa skema kompensasi atau jaminan harga, larangan ini justru menekan petani dan menghambat perputaran ekonomi daerah.
Kesimpulan Akhir
Aspek
Penilaian
Legalitas
Tidak sah tanpa dasar hukum nasional dan koordinasi pusat
Dampak ekonomi
Menurunkan pendapatan petani dan merusak mekanisme pasar
Kebijakan Publik
Hanya bijak jika bersifat sementara dan disertai intervensi harga/stok oleh pemerintah.



