Vale juga sudah bersedia menciutkan lahannya, hanya tersisa 118.000 hektar (74.000 di Sorowako, 22.000 hektar di Bahodopi/Sulawesi Tengah dan 24.000 di Pomala/Sulawesi Tenggara).
Lahan yang telah diciutkan telah diserahkan kembali ke negara sejak lima tahun silam dan sekarang sedang ditenderkan di Kementerian ESDM, seperti blok Bahodopi. Selain lahan, Vale sudah menggunakan barang-jasa domestik dan pembangunan pabrik smelter.
Untuk smelter ini, Vale sejak beroperasi di Indonesia tahun 1970, telah membangun pabrik smelter nickle in matte dengan kapasitas di atas 60.000 matrik ton.
Ini sangat bagus karena dari dulu, ribuan perusahaan tambang di Indonesia menjual bahan tambang dalam bentuk biji yang membuat negara merugi dan tak memiliki efek pelipatan bagi pembangun.
Sekarang pun Vale sudah mulai membangun pabrik tambahan smelter di Sorowako dengan kapasitas di atas 60.000 matrik ton, di Bahodopo sebesar 74.000 metrik ton, dan di Pomala sebesar 120.000 matrik ton. Total dana yang dikeluarkan Vale untuk membangun tiga smelter ini senilai 6 milar dolar AS (setara Rp 94,2 triliun).
Ini tentu menjadi basis pertimbangan besar pemerintah untuk memperpanjang kontrak. Tak masuk akal bagi pemerintah untuk tak memperpanjang kontrak Vale dengan investasi yang begitu besar di tengah keengganan pengusaha domestik membangun smelter nikel.
Vale memang belum tuntas mendivestasikan sahamnya, karena kepemilikan saham Vale sampai sekarang terdiri dari Vale Canada Limited (43,9 persen), Sumitomo Metal (15 persen), Sumitomo Corporation (0,4 persen), MIND ID (20 persen), dan publik di pasar modal (20 persen).
Dengan komposisi kepemilikan seperti ini, saham Vale yang belum didivestasikan ke pihak domestik hanya tersisa 11 persen. Jika, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ingin mengambil-alih saham Vale, saya menganjurkan membeli saja 11 persen saham Vale dengan valuasi saham yang akan ditentukan kedua belah pihak.
Proses pembelian saham perusahaan tambang ini tidaklah murah. Itu yang terjadi dalam penjualan 51 persen saham Freeport Indonesia ke MIND ID. Harga 51 persen saham Freeport kala itu mencapai 5 miliar dolar.
Begitupun dengan Vale Indonesia, harga sahamnya pasti akan sangat tinggi dengan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan pendapatan dan laba tinggi. Begitupun dengan total investasi mereka yang begitu besar. Setelah lima syarat di atas terpenuhi barulah pemerintah memperpanjang kontrak Vale.
Dengan begitu, saya kira memperpanjang kontrak Vale ini tak sulit, karena hampir semua syarat sudah dipenuhi. Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa saham perusahaan tambang harus dibeli? Mengapa setelah masa berakhir kontrak, konsensinya tak otomatis dikembalikan ke negara, sebagaimana lazimnya dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, seperti Blok Mahakam dan Blok Rokan?