KABAR DAERAH

Kerajaan Banggai, Penjaga Maritim di Sulawesi Tengah

1627
×

Kerajaan Banggai, Penjaga Maritim di Sulawesi Tengah

Sebarkan artikel ini
Kerajaan Banggai, Penjaga Maritim di Sulawesi Tengah
Ilustrasi Kerajaan Banggai, Penjaga Maritim di Sulawesi Tengah (sumber google)

KABAR LUWUK – Siapa yang tidak mengenal Kerajaan Banggai? Kerajaan yang dahulunya memiliki pengaruh maritim yang kuat di wilayah Sulawesi Tengah. Kerajaan Banggai Penjaga Maritim, mari kita kenali suku Banggai yang merupakan salah satu suku besar di wilayah Kabupaten Banggai bersaudara ini.

Suku Banggai, suku ini mendiami beberapa area yang tersebar di hampir seluruh wilayah Kabupaten Banggai Laut, Kabupaten Banggai Kepulauan dan sebagian Kabupaten Banggai.

Mereka sering dibicarakan bersama dengan dua suku bangsa lainnya, yaitu Suku Balantak dan Suku Saluan.

Meskipun begitu, ketiga suku tersebut memiliki adat istiadat dan budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Banggai memiliki beragam pekerjaan, termasuk petani, nelayan, pejabat pemerintahan, dan lainnya.

Menguasai Separuh Sulawesi Tengah

Di masa lalu, Suku Banggai pernah menguasai separuh dari wilayah Sulawesi Tengah. Nama besar Kerajaan Banggai menggambarkan hal itu. Suku ini terdiri dari dua suku, yaitu Suku Sea-sea yang menghuni daerah pegunungan dan suku Banggai yang tinggal di pesisir pantai.

Mereka memiliki bahasa sendiri, bahasa Banggai, yang berasal dari kelompok bahasa Malayo-Polinesia. Mayoritas orang Banggai (73%) memeluk agama Islam. Sebanyak 25% menganut agama Kristen, dan 3% memeluk agama Hindu dan Buddha.

Agama Islam menyebar luas di Sulawesi Tengah berkat upaya syiar Abdullah Raqile, yang lebih dikenal dengan Dato Karamah, seorang ulama dari Minangkabau. Agama Kristen pertama kali diperkenalkan oleh AC Cruyt dan Adrian, misionaris dari Belanda, di wilayah Poso dan bagian selatan Donggala. Sedangkan agama Hindu dan Buddha dibawa oleh para transmigran dari Bali.

Suku Banggai merupakan suku asli Sulawesi yang mendiami Kepulauan Banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan (biasa disingkat Bangkep) dan Kabupaten Banggai. Suku Banggai dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu suku Banggai Kepulauan yang berada di Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Suku Sea-Sea (atau Suku Banggai Pegunungan) yang tinggal di daerah pegunungan.

Kabupaten Maritim

Kabupaten Banggai Kepulauan adalah satu-satunya kabupaten maritim di Provinsi Sulawesi Tengah, yang terdiri dari 123 pulau. Lima pulau terbesarnya adalah Pulau Peleng (luas 2.340 km²), Pulau Banggai (268 km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Salue Besar (84 km²), dan Pulau Labobo (80 km²). Sementara itu, 118 pulau lainnya adalah pulau-pulau kecil yang sebagian besar tidak berpenghuni.

Dengan total 123 pulau tersebut, Bangkep di ujung Sulawesi Tengah memiliki luas wilayah daratan sebesar 3.160,46 km² dan luas wilayah laut 18.828,10 km². Wilayah ini terdiri dari 12 kecamatan, dengan 7 kecamatan berada di Pulau Peleng, 2 kecamatan di Pulau Banggai, dan 3 kecamatan di pulau-pulau kecil lainnya.

Dengan populasi sekitar 376.808 jiwa (data 2019), Kabupaten Banggai dulunya merupakan wilayah Kerajaan Banggai. Wilayah ini mencakup Banggai Daratan dan Banggai Kepulauan. Tiga Kabupaten Banggai bersaudara ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Termasuk hasil laut (ikan, udang, mutiara, rumput laut), hasil pertanian (kopra, kelapa sawit, kakao, beras, kacang mete), serta hasil tambang (nikel dalam tahap eksplorasi) dan gas (Blok Matindok dan Senoro).

Menjaga Adat

Adat dan budaya suku Banggai dijaga dengan sangat hormat oleh masyarakatnya. Beberapa aspek yang sangat melekat dalam budaya mereka, yang menarik perhatian, adalah musik tradisional seperti batongan, kanjar, libul, dan sebagainya, serta tarian seperti Onsulen, Balatindak, dan Ridan.

Salah satu tradisi yang dijaga dengan penuh rasa hormat adalah yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Sebagai contoh, pada perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, masyarakat suku Banggai selalu membuat kue yang disebut Kala-kalas atau Kaakaras.

Kue ini terbuat dari tepung beras dan digoreng. Kue “wajib” ini hanya tersedia saat perayaan Maulid Nabi. Tradisi lain yang tetap dilestarikan adalah upacara pelantikan Tomundo dan upacara pelantikan Basalo.

Ekspresi sehari-hari, seni, dan upacara adat mereka yang tinggal di tepian pantai berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman. Faktor geografis memainkan peran penting dalam perbedaan ini. Dalam upacara adat, para nelayan menggunakan teknik khas bernama sero untuk menangkap ikan.

Di daerah pedalaman, masyarakat menanam jenis umbi khas yang hanya tumbuh di daerah perbukitan Banggai. Selain ubi, mereka juga menanam padi, jagung, dan cokelat. Sebagian masyarakat menjadi nelayan atau pemburu (baasu).

Kegiatan ini merupakan warisan sejak zaman sebelum Kerajaan Banggai dan masih berlanjut hingga sekarang di kawasan pedalaman Pulau Peleng.

Ubi Banggai

Bangkep juga terkenal dengan ubi khasnya, yaitu ubi Banggai (Dioscorea sp.). Ubi ini termasuk tanaman langka karena hanya dapat ditemukan di Pulau Banggai. Tidak ada di tempat lain. Masyarakat setempat membudidayakan ubi ini di pulau tersebut. Data dari 12 tahun yang lalu menunjukkan bahwa Bangkep menghasilkan hampir 9.000 ton ubi Banggai. Ubi ini banyak ditemukan di Kecamatan Banggai dan Lainang.

Ubi Banggai memiliki bentuk yang mirip dengan campuran antara ubi jalar dan ubi kayu. Rasanya juga mirip dengan perpaduan antara ubi jalar dan singkong, namun ukurannya lebih besar. Ubi ini bisa dinikmati dengan cara digoreng, direbus, atau dijadikan camilan. Selain itu, ubi Banggai juga dapat diolah menjadi tepung untuk membuat kue, brownies, atau hidangan lainnya seperti payot. Payot merupakan kuliner khas Bangkep dan hanya tersedia pada acara-acara ritual mereka.

Ubi Banggai tumbuh menjalar dengan batang yang memanjat ke atas seperti tanaman sirih. Dioscorea sp. ini menjadi sumber karbohidrat utama bagi penduduk Banggai dan Luwuk. Di dua kabupaten ini juga terdapat jenis umbi-umbian lain seperti ubi opa atau dolungun, ubi hutan, ubi alas, dan ubi gadung. Namun, ubi Banggai menjadi makanan pokok penduduk setempat. Ubi opa digunakan sebagai sayuran, sedangkan ubi hutan dan ubi gadung digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional.

Miliki Historis Dengan Kerajaan Ternate

Secara historis, ubi Banggai diperkenalkan oleh keluarga Raja Ternate yang terusir. Keluarga kerajaan tersebut melakukan migrasi ke Bangkep, membangun komunitas, dan menjadi penguasa di sana. Karena jenis tanah di Bangkep terdiri dari lempung berpasir, terutama di Tomini dan Peling Barat, tanaman umbi-umbian cocok untuk tumbuh di sana. Oleh karena itu, mata pencaharian tradisional penduduk setempat umumnya melibatkan penanaman kelapa, sayuran, buah-buahan, dan budidaya umbi-umbian. Kebiasaan menikmati umbi di Ternate tetap dijaga oleh penduduk Bangkep.

Pada zaman Kerajaan Banggai, ubi Banggai ditanam dengan ritual yang disebut Bapidok. Ubi ditanam di lahan yang miring dengan usia panen yang ideal sekitar enam bulan. Hasil panennya umumnya digunakan untuk konsumsi sendiri. Kelebihannya dijual di pasar tradisional di Bangkep atau wilayah lain seperti pasar tradisional di Luwuk. Ubi Banggai juga diperdagangkan di pasar tradisional di Kecamatan Toli, Bamtui, Kintom, Luwuk, Mendono, dan Buwon. (Dihimpun dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *