KABAR LUWUK – BEM Fisip Untika Partai Politik Krisis Pendidikan Politik,Kampus Tanda Tanya. Universitas Tompotika (UNT) Kembali menyoroti kondisi pendidikan politik di Indonesia, dengan menekankan dampak negatif dari peran partai politik.
Dalam pernyataannya, Ketua BEM FISIP UNTIKA, Dandi Abidina, mengungkapkan kekecewaannya terhadap budaya politik saat ini yang telah menyebabkan krisis pendidikan politik di kalangan mahasiswa. Selasa 6/6/2023.
Menurut Dandi Abidina, pendidikan politik seharusnya menjadi faktor penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum.
Pendidikan politik tidak hanya sebatas aspek kualitatif, tetapi juga harus mampu memenuhi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara secara fundamental.
Dandi Abidina melanjutkan, “Budaya politik saat ini tidak bisa dipisahkan dari pengaruh partai politik. Komunikasi, tindakan, dan kebiasaan para kader partai politik tidak mencerminkan teladan positif dan produktif yang mempromosikan nilai-nilai luhur bangsa dan negara di kalangan masyarakat.
Politik saat ini lebih cenderung dianggap sebagai ajang pesta dan kesenangan semata bagi para kader politik partai. Fokus mereka terbatas pada kepentingan materi dan nafsu untuk menguasai sumber daya, termasuk memanipulasi pemikiran masyarakat agar terus terjebak dalam pola pikir yang hanya memuaskan keinginan sementara mereka mengumpulkan kekayaan pribadi. Dalam perang politik ini, semua terbungkus dalam pesta pora.”
Selain itu, Ketua BEM FISIP UNTIKA juga menyayangkan seringnya partai politik yang salah mengartikan frasa “Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Negara”.
Alih-alih menyelesaikan masalah kemiskinan dan menstabilkan ekonomi masyarakat, partai politik justru terus memelihara kemiskinan, sehingga orang-orang tidak lagi berpikir tentang nilai-nilai kemandirian.
Pada saat pemilihan umum tiba, uang-uang yang dibagikan dianggap penting, meskipun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dandi menambahkan, “Partai politik menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang sebenarnya merupakan uang rakyat yang dikelola oleh negara. Mengapa rakyat harus terus-menerus memohon uang tersebut?”
Dia juga menyoroti fenomena dimana beberapa anggota legislatif yang dulunya adalah calon legislatif (caleg), justru berpikir untuk mengembalikan uangnya lebih dulu.
Menurut mereka, menjadi wakil rakyat adalah urusan bisnis. Mereka berjudi dengan berbagai ketidakpastian, tetapi dengan pasti menggunakan uang sebagai modal.
Dandi menegaskan bahwa kondisi seperti ini sudah cukup menjadi tolak ukur bahwa partai politik saat ini mengkaderisasi anggotanya untuk menduduki posisi tertinggi dalam lingkaran perjuangan rakyat, yang dilakukan secara transaksional di arena pemilihan umum dengan kecepatan tinggi.
Akibatnya, para kader partai dipersiapkan dan diubah sesuai dengan keinginan, baik secara fisik maupun mental, untuk menjalani proses jual-beli penderitaan rakyat demi menjaga keberlangsungan kemiskinan dan meningkatkan jumlah fakir miskin dan anak terlantar.
Dandi mengakhiri pernyataannya dengan mengatakan, “Jika pendidikan politik tidak dilakukan secara komprehensif dan fundamental, maka jangan berharap akan ada pemimpin yang berkualitas dan memiliki konsep pembangunan yang kokoh untuk masyarakat yang bangga.
Jika partai politik gagal melakukan kaderisasi yang baik, maka kampus tidak boleh menjadi budak partai politik yang hanya melahirkan kader-kader penerus bangsa dengan kecenderungan meminta-minta kebijakan.” Pungkasnya.