Penulis : Irwan K Basir (Jurnalis)
KABAR LUWUK, SIGI – Semilir angin sepoi bergemerincing saat melewati rumpun pepohonan bambu di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Berayun lembut laksana penari memanggil seniman untuk mengubahnya menjadi suatu maha karya.
Sejak zaman dahulu, pohon bambu telah dimanfaatkan nenek moyang kita sebagai bahan baku bangunan termasuk peralatan rumahtangga. Selain kuat, bahan baku bambu mudah didapatkan dan harganyapun terbilang murah. Sayangnya saat ini hanya ada satu diantara seribu orang yang mau terlibat mengubah batang bambu menjadi kerajinan yang mendatangkan nilai ekonomis.
Mentari pagi baru saja menampakan diri, langkah Jamil Abas Balangkai pria kelahiran Desa Pandere 23 Oktober 1983 yang kini tinggal dan menetap di Desa Salua semakin dipercepat kala mendekati rerumpunan pohon bambu. Ia bersama sejumlah anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Singganipura berencana menebangi pohon bambu yang nantinya akan diubah menjadi kerajinan.
Banting Setir Menjadi Perajin Bambu
Dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, serta wajib mencuci tangan Jamil meladeni kedatangan saya di kediamannya guna mewawancarainya tentang usaha yang digeluti.
Jamil sapaan suami Nurlianti bukanlah perajin bambu yang mewariskan keahlian dari orangtua, awalnya pria tiga orang anak ini hanyalah berprofesi sebagai sopir angkutan umum yang melayani rute Palu – Lindu. Mobil angkutan umum diakuinya milik orang lain yang hasilnya hanya mampu memenuhi kebutuhan dapurnya saja.
Hingga pada tahun 2017, KTH Pukatuvua binaan KPH Kulawi mendaulatnya menjadi bendahara dalam usaha kerajinan bambu di Desa Salua. Ia kemudian berfikir dengan ketekunan dan peningkatan keterampilan maka batang bambu bisa disulap menjadi kerajinan yang mendatangkan nilai ekonomi. Sayangnya belakangan, Jamil menarik diri dari KTH Pukatuvua yang katanya saat itu terjadi masalah internal sehingga dirinya memilih keluar dan secara mandiri terus berkarya dibidang kerajinan bambu.
Ketekunannya membuat sejumlah kerajinan dari batang bambu itu secara perlahan mendapat perhatian KPH Kulawi yang kemudian menawarkan bantuan dengan syarat Jamil membentuk kelompok berupa KTH di bawah binaan KPH Kulawi. Tawaran itu disambut positif Jamil namun kala itu, Ia menawarkan syarat bahwa KPH Kulawi tidak hanya memberikan suport moril tapi juga memberi dukungan peralatan serta pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia.
“Saya milihat banyaknya pohon bambu di desa ini khususnya di Kabupaten Sigi belum secara maksimal dimanfaatkan, padahal jika mau ditekuni secara serius bisa dipastikan akan mendatangkan nilai ekonomis. Saya resmi banting setir dari sopir menjadi perajin bambu karena melihat adanya potensi ekonomis. Bersyukur ketekunan saya mendapat perhatian banyak pihak terutama KPH Kulawi,” ujar Jamil sembari menerawang awal mula Ia terlibat dalam usaha bambu ini.
Barter Modal Awal Dengan Hasil Karya
Diakui Jamil saat pertamakali merintis usaha kerajinan bambu dirinya tidak memiliki modal, untuk satu set kursi bambu siap jual saat itu membutuhkan modal besar sekira Rp700.000. Angka itu terbilang cukup besar baginya yang masih berprofesi sebagai sopir angkutan umum.
Namun Jamil tidak patah arang, Ia kemudian menemui salah seorang sepupunya guna meminjam modal awal dengan jaminan nantinya pemberi pinjamanan itu akan mendapatkan satu set kursi hasil kerajinan bambu. Berbekal kepercayaan, Jamil mendapat pinjaman, uang itu kemudian dibelikannya sejumlah batang bambu serta bahan pendukung pembuatan kursi seperti, paku, lem , rotan dan lainya.
“Saya bilang ke saudara sepupu saya, kasih pinjam dulu saya uang tujuh ratus ribu buat modal pembuatan kursi bambu. Nanti saya kasih satu set kursi bambu sebagai ganti uang pinjaman itu. Alhamdullilah pinjaman itu diberikan karena mereka percaya kepada saya,” tutur Jamil sembari tersenyum mengingat awal merintis usaha bambu.
Sejak itu hampir setiap pekannya satu set kursi bambu mampu diselesaikannya yang kemudian dijual seharga Rp1.500.000. Pada awal-awal pembuatan kerajinan kursi bambu, Ia bekerja seorang diri mengingat kala itu hasilnya belumlah terlalu besar jika harus berbagi kepada tenaga pembantu.
Hanya saja setelah ketekunan dan hasil karyanya mendapat pengakuan masyarakat maka orderan semakin banyak hingga Ia merasa kewalahan hingga akhirnya membentuk kelompok KTH Singanipura guna memenuhi permintaan para pelanggan.
“Untuk saat ini dalam satu pekan saya bersama kawan-kawan di KTH Singganipura mampu memproduksi dua hingga tiga set kursi bambu. Dahulu waktu kerja sendiri satu set kursi itu saya kerjakan seminggu lamanya,” ucap Jamil sambil memperlihatkan sejumlah hasil karyanya dalam galery foto di Handphonenya.
Mendapat Kesempatan Peningkatan Keahlian Ke Pulau Jawa
Menjadi binaan KPH Kulawi sudah barang tentu KTH Singganipur yang dibentuk dan diketuai Jamil terus mendapat dukungan. Tidak saja dukungan moril dan peralatan produksi namun Ia berkesempatan mendapatkan pelatihan peningkatan keahlian hingga ke Pulau Jawa.
Jamil bertutur, Dinas Kehutanan serta instansi terkait lainnya telah jauh hari memberikan imbauan dan pemberitahuan terkait larangan menebang kayu di hutan apalagi sekitar hutan Desa Salua merupakan wilayah Taman Nasional Lore Lindu yang pasti adanya pelarangan perambahan baik menambah maupun mengurangi apa yang ada dalam kawasan itu. Hanya saja warga termasuk para anggota kelompok utamanya KPH dapat mengelola Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) salah satunya pohon bambu untuk kemudian diolah menjadi kerajinan.
“Saya mendapat dukungan penuh dari bapak Busranudin Daeng Maserang yang merupakan penyuluh KPH Kulawi yang membina KTH Singganipura. Kami tidak saja diberikan dukungan moril namun juga mendapatkan bantuan peralatan hingga pelatihan peningkatan sumber daya manusia hingga ke pulau Jawa,” tuturnya.
Menjadi ketua di KTH Singganipura sudah barang tentu memiliki kewajiban bagaimana cara agar usaha kerajinan bambu yang tengah dikelola skalanya bisa lebih besar lagi termasuk bagaimana menciptakan model dan motif kreasi bambu agar bisa berdaya saing.
Bangkit Kembali Setelah Diterpa Bencana
Perjalanan usaha kerajinan bambu KTH Singganipura tidaklah berjalan mulus, pada tahun 2018 tepatnya 28 September 2018 bencana maha dahsyat meluluhlantakan wilayah Palu, Sigi, Donggala dan Parigi. Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo itu mengguncang wilayah Sulawesi Tengah, bahkan disusul dengan tsunami dan likuifaksi. Praktis usaha kerajinan yang telah membantu perekonomian Jamil dan para anggotanya selama ini terhenti. Selain harus mengurusi masalah pangan yang sulit dicari pada awal-awal bencana, Ia bersama anggota KTH Singganipura bergelut dengan sejumlah sanak saudara yang meninggal, luka berat dan luka ringan.
“Mau bagaimana lagi, saat itu usaha saya sempat terhenti. Mau cari makan saja saat itu sudah apalagi orang mau beli kursi dan kerajinan bambu lainnya. Praktis saya saat itu saya merasa kembali ke titik nol,” ucap Jamil terlihat memutar kembali memori peristiwa bencana besar itu.
Namun bukan Jamil jika harus patah arang, secara perlahan Ia bersama anggota KTH Singganipura perlahan bangkit. Dengan tekun mereka terus memproduksi kerajinan bambu berupa kursi, meja bahkan gazebo. Hal itu kemudian menjadi perhatian sejumlah instansi terkait.
Pada awal Januari 2019, Jamil bersama beberapa anggoota kelompoknya diundang Dinas Pendidikan Kabupaten Sigi guna mengikuti pelatihan di LKPA Ananta. Seminggu lamanya Ia bersama sejumlah perajin lainnya mendapatkan pelatihan. Ilmu itu kemudian dipraktekannya saat kembali ke kampung halaman.
Pandemi corona virus disease 2019 atau covid-19 juga sempat menghantam usahanya, namun semua itu dijadikan cambuk untuk tetap bangkit dan berdayasaing.
Menjaga Kearifan Lokal Merawat Tradisi Leluluh
Pohon bambu di wilayah Kabupaten Sigi kata Jamil masih sangat berlimpah, sehingga dirinya tidak merasa khawatir akan kekurangan bahan baku usaha kerajinan yang digelutinya. Di Desa Salua saja pohon bambu tumbuh subur hingga di bantaran sungai.
Hal yang menarik dalam pengelolaan pohon bambu, Jamil bersama anggota KTH Singganipura masih menjaga tradisi dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Misalnya agar mendapatkan pokok batang bambu yang berkualitas, penebangannya harus dilakukan pada akhir bulan berjalan. Selain itu pokok atau batang bambu yang telah ditebang tidak bisa langsung dibawa namun harus didiamkan di lokasi penebangan selama kurang lebih dua pekan lamanya.
Tidak itu saja, agar bambu tetap lestari maka Ia bersama rekan-rekannya senantiasa menanam kembali pohon bambu, dengan harapan agar kelak dapat dimanfaatkan lagi oleh generasi mendatang.
“Pesan orangtua yang sampai saat ini saya lakoni yakni jika kita menebang seribu batang bambu maka segera ganti seratus dengan cara tanami dilokasi lainnya pohon bambu baru, ada makna dari pesan itu yakni kita harus bisa menyisahkan hasil alam ini kepada generasi mendatang,” katanya.
Menurutnya sejak menggeluti usaha kerajinan bambu, Ia bersama rekan-rekannya secara swadaya telah melakukan pembibitan pohon bambu, sehingga kedepan ada pasokan bahan baku secara berkesinambungan.
“Jangan kita terlena hanya menebang saja tapi lupa menanam kembali, lama kelamaan saya pastikan akan habis, lantas apa yang akan kita sisahkan bagi generasi mendatang, ” ungkap Jamil.
Bambu d wilayah Desa Salua beragam, namun bambu yang menjadi bahan baku kerajinan Jamil yakni Bambu Jawa yang bernama latin Gigantocholoa Atter sedangkan warga lokal menyebut bambu ini Awo. Pemilihan bahan baku yang baik menurut Jamil sangat penting karena berkaitan dengan keindahan dan daya tahan saat digunakan konsumennya.
Promosi di Media Sosial Kebanjiran Order
Pemasaran hasil kerajinan bambu KTH Singganipura diakui Jamil pada awalnya merupakan suatu tantangan dan kesulitan yang harus dihadapi, beberapa set kursi bambu biasanya tersimpan dirumahnya karena belum ada pembeli. Namun berbekal media sosial semua hasil karyanya itu diposting hingga ahirnya mengundang pembeli. Bahkan saat ini mereka kebanjiran order yang memaksa mereka harus menambah para perajin agar dapat menyelesaikan pesanan para konsumen.
Rata-rata untuk satu set kursi bambu bila dikerjakan sendiri membutuhkan waktu dua pekan, namun setelah kebanjiran order maka harus banyak pekerja yang dilibatkan dengan tujuan dalam sepekan satu atau dua set kursi bisa selesai.
Saban hari usai mengerjakan pembuatan kerajinan bambu atau di sela-sela istirahat, Jamil mengecek media sosialnya untuk melayani pertanyaan warga net serta memberikan penjelasan baik kualitas serta harga kerajinan yang diproduksi mereka. Termasuk mencatat pesanan yang masuk sekaligus mengkonfirmasi mengenai pembayarannya.
Pasca kebanjiran order para peminat kerajinan bambu produksi KTH Singganipura harus mengantri, bahkan tidak sedikit yang memberikan uang tandajadi sebagai bentuk keseriusan membeli kerajinan berupa kursi, miniatur dan sejumlah kerajinan lainnya dari Jamil.
“Alhamdulillah, sejak mememasarkan atau promosi melalui media sosial, kami kebanjiran order, bahkan saat ini jujjur saya keteteran menerima order pesanan. Tapi sebisa mungkin kami tetap memenuhi pesanan yang masuk,” katanya sembari tersenyum.
Guna menjaga kualitas hasil karyanya, sejak pemilihan bahan baku hingga pengerjaan kata Jamil dilakukan dengan sangat teliti. Bahkan dia berani memberikan garansi terhadap hasil karyanya salah satunya dengan perbaikan jika dalam penggunaan normmal terjadi kerusakan. Hal itu katanya untuk menjaga kepercayaan dan bentuk pelayanan kepada konsumennya.
Untuk saat ini produksi kerajinan bambu KTH Singganipura masih dipasarkan secara lokal pulau Sulawesi. Namun ada asa Jamil agar kelak hasil produksi kerajinan mereka bisa menembus pasar nasional bahkan internasional.
Jamil berharap kedepan melalui KTH Singganipura, Ia bisa menyebar luaskan ilmu kerajinan bambu yang telah dipelajarinya selama ini. Harapannya melalui kerajinan bambu ini, Dia bersama kawan-kawannya dapat memberdayakan masyarakat sekitar agar bisa terlibat bersama membentuk kriya dari bambu mendatangkan nilai ekomis sehingga dapat menyejahterakan warga di Desa Salua. ***