Penulis: Dr. Hardianto Djanggih, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia
KABAR LUWUK – Serapan anggaran APBD Kabupaten Banggai yang baru mencapai 48% menjelang dua bulan berakhirnya tahun anggaran 2025 merupakan fenomena yang patut menjadi perhatian serius.
Angka ini bukan sekadar data statistik yang dapat diabaikan, tetapi sinyal kuat adanya persoalan struktural dalam manajemen keuangan daerah.
Dengan masih tersisa lebih dari 50% anggaran yang belum direalisasikan, muncul kekhawatiran bahwa program pembangunan dan pelayanan publik yang telah direncanakan tidak akan tercapai secara optimal.
APBD sejatinya adalah instrumen utama pembangunan daerah. Ia mencerminkan komitmen pemerintah dalam menyediakan layanan dan infrastruktur bagi masyarakat.
Rendahnya serapan anggaran ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan, yang mengindikasikan lemahnya kesiapan teknis dan operasional.
Keterlambatan pelaksanaan program tidak hanya merugikan masyarakat secara langsung, tetapi juga mencoreng citra pemerintah daerah sebagai pelayan publik.
Rendahnya realisasi anggaran tidak bisa dilihat sebagai kesalahan teknis semata. Persoalan ini merupakan cerminan dari minimnya koordinasi antar-Organisasi Perangkat Daerah (OPD), birokrasi yang lamban, hingga ketidakpahaman terhadap regulasi keuangan.
Selain itu, banyaknya perubahan kebijakan, terutama terkait proses pengadaan barang dan jasa, seringkali menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksana.
Padahal, kelemahan-kelemahan ini sejatinya sudah berulang kali terjadi dan seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki sistem dan budaya kerja birokrasi.
Pola rendah serapan anggaran yang berulang di banyak daerah, termasuk Banggai, seolah menjadi siklus tahunan yang tidak kunjung tuntas. Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah secara tegas mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengedepankan asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Tidak optimalnya penggunaan anggaran merupakan bentuk pemborosan kesempatan pelayanan publik, karena uang negara yang seharusnya diproduktifkan justru mengendap tanpa manfaat.
Situasi ini memunculkan risiko lain yang tidak kalah berbahaya, yaitu percepatan belanja anggaran menjelang akhir tahun atau yang dikenal sebagai end-of-year rush. Dalam kondisi dikejar target serapan, potensi ketidakcermatan dalam penggunaan anggaran meningkat signifikan.
Pemborosan belanja, pemilihan mitra kerja yang tidak kompetitif, hingga indikasi mark-up dalam pengadaan barang dan jasa menjadi ancaman nyata jika tidak diawasi secara ketat.
Selain merugikan keuangan daerah, dampak dari rendahnya serapan anggaran adalah hilangnya kepercayaan publik. Masyarakat akan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjalankan tugas pembangunan.
Ketika program-program sosial tertunda atau infrastruktur tidak segera dibangun, dampaknya dirasakan langsung oleh rakyat. Keterlambatan realisasi anggaran berarti menunda kesejahteraan masyarakat, yang bertentangan dengan semangat desentralisasi fiskal.
Dalam sisa waktu yang sangat terbatas ini, langkah cepat dan strategis harus segera diambil. Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja masing-masing OPD. Kelemahan administrasi harus segera ditangani, prosedur diperbaiki, dan pendampingan teknis dari aparat pengawas intern pemerintah (APIP) diperkuat.
Selain itu, penggunaan sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan real-time juga penting untuk memastikan proses pengawasan berjalan efektif.
Salah satu langkah prioritas yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banggai adalah pembentukan Satgas Percepatan Realisasi Anggaran atau tim khusus yang fokus mengawal pelaksanaan program di lapangan.
Tim ini tidak hanya bertugas mendorong percepatan belanja, tetapi sekaligus memastikan bahwa kualitas output pembangunan tetap terjaga. Belanja anggaran yang cepat tidak boleh mengorbankan akuntabilitas dan mutu kerja.
Bupati Banggai dan jajaran pimpinan daerah harus menunjukkan komitmen nyata dalam situasi krusial ini. Transparansi dan kepemimpinan berbasis kinerja harus menjadi pendorong utama untuk meningkatkan efisiensi tata kelola keuangan daerah.
Setiap rupiah dari APBD adalah uang rakyat yang wajib digunakan sebaik-baiknya demi tercapainya kesejahteraan bersama. Di tengah tantangan fiskal nasional dan global, pengelolaan APBD secara cerdas adalah kunci ketahanan daerah.
Pada akhirnya, stagnasi penyerapan anggaran tidak boleh dipandang sekadar sebagai kekurangan teknis birokrasi, melainkan sebagai alarm serius tentang efektivitas pemerintahan daerah.
Dalam waktu dua bulan yang tersisa, percepatan yang dilakukan harus tetap berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan orientasi hasil. Karena setiap anggaran yang tidak terserap bukan hanya angka statistik, tetapi peluang kesejahteraan yang terlewat, dan amanah rakyat yang belum tertunaikan.



