Oleh: Supriadi Lawani
KABAR LUWUK – Dari kebun dan laut yang tak lagi menjanjikan, ke warung kopi dan kos-kosan pengap di kota.
Mereka baru berusia dua puluh tahun. Usia yang mestinya masih penuh mimpi dan harapan. Namun di kota Luwuk, wajah-wajah muda itu sudah harus berjibaku dengan kenyataan: melayani kopi, mengantar pesanan makanan, atau berdiri di balik meja kasir. Mereka datang dari desa-desa Kabupaten Banggai, meninggalkan tanah dan laut yang tak lagi mampu memberi makan. Yang tersisa kini hanyalah perjuangan sehari-hari di kota, dengan masa depan yang samar di ujung jalan.
Di sudut-sudut kota Luwuk, wajah-wajah muda itu hadir setiap hari. Gadis belia dan pemuda yang baru saja menuntaskan SMA, kini menyambut pelanggan di warung kopi, warung makan, atau toko kecil. Senyum mereka tipis, sekadar etika kerja, menyembunyikan getir di balik tatapan yang kosong.
Mereka datang dari desa-desa Kabupaten Banggai. Ada yang punya kebun kelapa, dua hektar luasnya, tapi hanya cukup untuk ditanam ayah, sementara sang ayah sendiri bekerja sebagai pemotong kayu — “tukang sensor”. Ada yang lahir di pesisir, namun lautan tak lagi menjanjikan. “Susah jadi nelayan tradisional,” ucap seorang pemuda, lirih. Maka pilihan yang tersisa: meninggalkan kampung, mengadu nasib di kota.
Namun kota bukanlah tanah harapan. Mereka bersaing dengan pemuda-pemuda dari Banggai Kepulauan. Sektor informal memang paling banyak menyerap tenaga, tetapi kini pun terbebani pajak 10% di setiap transaksi. Gaji kecil terkikis, sementara hidup di kota tak murah.
Kos-kosan sederhana jadi rumah sementara. Ruang sempit tanpa kamar, ranjang yang dipakai bertiga, kipas angin tua yang berisik sepanjang malam. Hidup berjalan dari satu hari ke hari berikutnya, tanpa kepastian. Di mata mereka, masa depan hanya kabut.
Sebagian lain memilih jalur berbeda: merantau lebih jauh ke Morowali, masuk ke industri nikel. Namun di sana pun, masa depan tak lebih jelas. Hanya kerja keras yang menukar kesehatan dan waktu dengan upah yang belum tentu adil.
Pedesaan kita seperti kehilangan jiwa. Sawah, kebun, dan laut tak lagi bisa memberi makan. Desa tak lagi jadi rumah, melainkan tempat yang ditinggalkan. Anak-anak mudanya pergi, meninggalkan tanah lahir yang sepi.
Di kota Luwuk, mereka kini hadir — menyajikan kopi, mengantar makanan, berdiri di balik meja kasir. Tapi yang sesungguhnya mereka sajikan adalah kisah pilu: cerita tentang generasi muda yang tercerabut dari akar, tanpa jaminan akan jadi apa di hari depan.
Dan entah sampai kapan cerita ini akan berulang.
*Penulis adalah petani pisang



