KABAR OPINI

Tiran di Tanah Leluhur: Piur PT. Citra Palu Mineral sang Pemuja Serakah Nomic

159
×

Tiran di Tanah Leluhur: Piur PT. Citra Palu Mineral sang Pemuja Serakah Nomic

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dedi Askary

KABAR LUWUK – Bekerja di Komnas HAM-RI Perwakilan Sulteng, Pernah menjabat Deputy Direktur Walhi Sulteng, Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng, Dewan Pendiri sekaligus Direktur LPS-HAM Sulteng pertama dan anggota Dewan Pendiri YLBH Sulteng.

Di tengah gemerlap janji investasi dan pembangunan, Poboya, sebuah wilayah yang sarat nilai historis dan spiritual bagi masyarakat Tau Mpoboya di Palu, telah menjadi arena pertarungan sengit antara hak adat yang diwariskan leluhur dan nafsu kapital yang membabi buta.

Inti dari konflik ini adalah kehadiran PT. Citra Palu Mineral (CPM), sebuah entitas korporasi yang dituding menjadi pemuja sejati ajaran “Serakah Nomic”—sebuah filosofi ekonomi yang menghalalkan segala cara demi akumulasi kekayaan tanpa peduli keadilan sosial, lingkungan, apalagi hak adat.

Serakah Nomic: Wajah Ganda Korporasi

Istilah Serakah Nomic secara gamblang menggambarkan mentalitas Piur CPM: enggan berbagi dan gigih mempertahankan dominasi.
Perusahaan, yang beroperasi di atas tanah yang secara turun-temurun diyakini sebagai wilayah adat, bertindak seolah-olah kepemilikan legal (yang seringkali problematis dalam konteks hak adat) memberi mereka hak mutlak untuk memonopoli sumber daya. Mereka menerapkan serangkaian strategi yang dingin dan pragmatis:

  1. Monopoli Sumber Daya: CPM dituduh tidak hanya mengeruk kekayaan mineral, tetapi juga membatasi akses masyarakat pemilik lahan terhadap tanah yang menjadi sumber penghidupan dan identitas mereka.
  2. Erosi Nilai Adat: Kehadiran industri ekstraktif skala besar secara inheren menggerus nilai-nilai sakral dan kearifan lokal yang telah menjaga keseimbangan ekologi di Tanah Tau Mpoboya selama berabad-abad.
  3. Negosiasi Pincang: Dalam proses pembebasan atau kompensasi lahan, posisi tawar masyarakat yang lemah berhadapan dengan kekuatan modal dan jaringan korporasi yang kuat, menghasilkan kesepakatan yang jauh dari kata adil.

Melawan Kekuatan Kolonial Modern

Masyarakat Poboya—para pemilik lahan dan pewaris tradisi—menunjukkan kegigihan luar biasa. Mereka adalah penjaga kedaulatan terakhir di wilayah adatnya. Penolakan mereka untuk “berbagi” (baca: melepaskan atau menyerah) bukan didasari oleh ketamakan, melainkan oleh prinsip fundamental: Tanah adalah identitas, Tanah adalah hidup, dan Tanah tidak untuk dijual.

Tiran di Tanah Leluhur: Piur PT. Citra Palu Mineral sang Pemuja Serakah Nomic

Perjuangan masyarakat Tau Mpoboya menjadi cerminan perlawanan global terhadap kolonialisme modern yang bersembunyi di balik izin usaha dan investasi. Mereka menuntut pengakuan yang layak atas hak historis mereka, bukan sekadar kompensasi receh.

Panggilan Spiritual kepada Leluhur

Dalam konteks adat Poboya, tanah bukan sekadar properti. Ia adalah medium komunikasi dengan para leluhur (Tomepa’e). Ketika keserakahan korporasi mengancam dan merusak Ibu Pertiwi, seruan spiritual masyarakat menjadi senjata terakhir.

Harapan yang diungkapkan bahwa para leluhur akan “memberi pembelajaran mengerikan” kepada pemilik dan manajemen utama CPM, baik yang bersembunyi di Jakarta maupun yang beroperasi di Poboya, adalah manifestasi dari kepercayaan kosmik bahwa setiap tindakan ketidakadilan akan mendapat balasan setimpal dari kekuatan alam dan spiritual.
Ini adalah peringatan serius:

Bahwa keserakahan (Serakah Nomic) yang dipertontonkan oleh pemilik modal tidak akan pernah lebih besar atau lebih kuat dari murka alam dan keadilan spiritual yang dijaga oleh arwah para leluhur di Tanah Tau Mpoboya.

Perjuangan di Poboya harus menjadi cermin bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan: bahwa pembangunan yang tidak dilandasi keadilan, penghormatan terhadap hak adat, dan rasa kemanusiaan, hanyalah bentuk penjajahan baru yang ditutup-tutupi oleh janji palsu kesejahteraan. CPM harus menyadari bahwa keuntungan finansial tidak akan pernah sebanding dengan kutukan yang diemban akibat merampas dan merusak tanah suci leluhur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *