KABAR LUWUK — Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Banggai kembali jadi sorotan publik setelah terungkap alokasi dana survei yang mencapai Rp1,1 miliar hanya untuk pengumpulan data infrastruktur. Rinciannya: survei LHR (Rp100 juta), survei kondisi jembatan (Rp250 juta), survei investigasi desain DAS Dongin (Rp400 juta), serta survei kondisi jalan (Rp350 juta).
Besarnya angka tersebut memicu pertanyaan publik. Pasalnya, di beberapa daerah lain, pemerintah justru mampu mendapatkan data serupa dengan cara yang jauh lebih murah, bahkan hampir tanpa biaya.
Contoh paling mencolok datang dari Maluku Utara, di mana Gubernur Sherly Tjoanda menolak menganggarkan survei konvensional yang menguras APBD. Sebagai gantinya, ia mengajak warga melaporkan kondisi jalan dan jembatan melalui video pendek yang dikirim lewat media sosial.
Langkah sederhana itu membuahkan hasil mengejutkan: 270 video laporan masuk hanya dalam hitungan hari, tanpa honorarium, tanpa proyek survei bernilai miliaran. Masyarakat bergerak sukarela, bermodal semangat dan paket data.
Kisah Maluku Utara ini menjadi perbandingan keras bagi Banggai. Publik menilai, pemborosan dana survei menunjukkan birokrasi yang masih bertahan pada pola lama—lebih sibuk menghabiskan anggaran ketimbang mencari solusi cerdas.
“Kalau pemerintah punya kemauan, rakyat pun siap membantu. Kenapa harus miliaran kalau bisa gratis?” sindir seorang warga Banggai.
Era media sosial sesungguhnya telah memangkas jarak antara rakyat dan pemerintah. Jika di Maluku Utara laporan jalan rusak bisa terkumpul cepat melalui unggahan warga, di Banggai justru masih mengandalkan survei beranggaran besar.
Langkah Gubernur Sherly Tjoanda ini membuktikan bahwa kolaborasi dengan masyarakat bukan sekadar jargon. Ia menegaskan bahwa keterlibatan warga bisa menjadi solusi nyata, murah, dan cepat. Pertanyaannya: apakah Pemkab Banggai berani meniru langkah serupa, atau tetap terjebak dalam pola lama yang boros anggaran?. (IkB)



